![]() |
Tragedi Leuwigajah 2005 | Foto: EPaper Media Indonesia |
Sampah rumah tangga masih menjadi sumber utama sampah tertinggi
![]() |
Persentase sumber sampah | Data: Goodstats |
Data dari Goodstats menampilkan, 38,3% sampah di Indonesia berasal dari rumah tangga disusul dengan pasar tradisional, pusat perniagaan, fasilitas publik, perkantoran dan lainnya.
Data ini diolah oleh Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) di tahun 2022 sebagai gambaran tentang sumber sampah-sampah di Indonesia.
Sebagaimana sampah pada umumnya, ada dua jenis sampah rumah tangga, yakni sampah organik yaitu sampah yang berasal dari makhluk hidup dan dapat terurai secara alami oleh mikroorganisme (biodegradable), beberapa contoh sampah organik yaitu sisa makanan seperti kulit buah dan sayur-sayuran, dedaunan kering dari pekarangan rumah, ranting kayu, ampas kopi dan teh, termasuk pula kotoran hewan.
Dan satu lagi adalah sampah anorganik yang sumbernya bukan berasal dari makhuk hidup serta sulit diuraikan oleh mikroorganisme secara alami, beberapa diantaranya adalah plastik, tekstil, karet, logam termasuk limbah dari produk sabun.
Mengingat kembali tragedi Leuwigajah dan bahaya sampah
Informasi ini bukanlah berita baik untuk diperdengarkan kembali, sebuah tragedi yang terjadi di Leuwigajah. Namun kejadian yang pernah terjadi di sana, memang harus dikenang terus menerus sebagai pembelajaran pahit bagi seluruh masyarakat untuk tidak lagi merasakan kejadian serupa.
2 dekade yang lalu, tepatnya pada 21 Februari tahun 2005, Tempat Penampungan Akhir (TPA) Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, meletus. Dampaknya tidak main-main, ratusan nyawa turut melayang.
Dikutip dari Indonesia.go.id, via Tempo, TPA Leuwigajah yang saat itu menggunakan sistem open dumping, diguyur hujan deras. Dampaknya, konsentrasi gas metana dalam tumpukan sampah meningkat yang mengakibatkan gunungan sampah sepanjang 200 Meter dan setinggi 60 Meter di TPA tersebut runtuh diserta suara gemuruh besar yang terdengar hingga radius 10 Kilometer.
Ledakan tersebut membuat gunungan sampah berserak dan menghantam dua pemukiman penduduk yang berada tepat di bawah TPA Leuwigajah. Ironinya ratusan warga Kampung Cilimus dan Kampung Pojok tak sempat menyelamatkan diri dan terkubur bersama ribuan Ton sampah tersebut.
Dalam buku Tragedi Leuwigajah yang ditulis oleh Itoc Tochija, masa evakuasi berlangsung selama 15 hari, 157 jasad warga yang berhasil ditemukan dan ratusan lainnya dinyatakan berstatus hilang. Kejadian ini kemudian diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSPN) untuk mengenang TPA Leuwigajah sekaligus menjadi pengingat bahwa sampah bisa berbalik menyerang, melukai, bahkan mematikan manusia itu sendiri.
Percaya atau tidak, setiap sampah memiliki ancamannya masing-masing. Sampah organik misalnya, mengakibatkan pencemaran air, kualitas tanah juga dibuat menurun timbulnya bau busuk yang sekaligus jadi sumber penyakit, memicu pemanasan global dan perubahan iklim melalui emisi gas metana, gas yang menjadi pemicu ledakan di TPA Leuwigajah.
Untuk sampah anorganik, Anda mungkin pernah melihat pelaut yang menarik sedotan plastik yang cukup panjang dari hidung penyu? Atau apesnya kepala burung bangau yang terjebak kantong plastik di bibir pantai? Itu baru soal hewan yang jadi korbannya.
Tanaman juga tidak luput dari dampak negatif tumpukan sampah anorganik seperti plastik.
Nyatanya, sampah plastik dapat merusak struktur tanah, mengurangi kesuburan, mengganggu penyerapan air dan nutrisi termasuk melepaskan zat kimia berbahaya yang membahayakan mikroorganisme tanah yang menyebabkan akar tanaman tidak bisa leluasa bergerak mencari nutrisi sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman itu sendiri.
Namun tahukah Anda yang paling mengerikan dari hadirnya sampah anorganik? Kita, manusiapun turut serta jadi target ancamannya.
Sampah plastik bukan hanya mengotori lingkungan, produk ini juga jadi salah satu penyebab banjir jika sudah menumpuk parah, setiap jenisnya sulit terurai dan sangat bisa meracuni tanah dan air, meracuni udara saat dibakar, serta masuk ke dalam rantai makanan melalui mikroplastik yang dikonsumsi hewan dan manusia.
Baru-baru ini Lapor Iklim bersama Aliansi Zero Waste, NEXUS dan PIKUL merilis berita yang menyebutkan bahwa negosiasi plastik di Jenewa gagal diperoleh. Negara-negara produsen minyak dan petrokimia seperti Arab Saudi, Rusia, Iran dan AS menolak pembatasan produksi, padahal mayoritas negara ingin aturan tegas.
Yang lebih mengerikan dari hasil perundingan ini adalah bahaya kimia plastik membawa ribuan bahan kimia beracun seperti phthalates, bisphenol hingga PFAS. Gongnya, Indonesia sudah menjadi 'konsumen' mikroplastik terbesar per kapita di dunia, sekitar 15 Gr per orang per bulan.
Mikroplastik sendiri membawa ancaman kesehatan yang cukup serius bagi manusia termasuk penyakit pernafasan, gangguan pencernaan, masalah kesuburan, penyakit jantung, gangguan sistem imun dan masih banyak gangguan kesehatan lainnya.
Tentu saja kata 'konsumsi' di sini tidak kita santap sebagaimana mengonsumsi makanan pada umumnya, benda tersebut masuk ke dalam tubuh lewat saluran pernafasan ketika menghirup udara yang terkontaminasi partikel plastik di udara, atau kita 'konsumsi' saat menyantap makanan atau minuman yang sudah terkontaminasi mikroplastik.
Ini baru bicara sampah plastik, belum lagi sampah logam, karet, tekstil, kaca, atau sampah buangan sisa penggunaan sabun yang kemudian mencemari air. Sebetulnya, sampah yang kita hasilkan perlahan-lahan mulai menyerang dari berbagai arah; air, tanah, udara, tidak ada yang benar-benar bersih dari sampah yang kita hasilkan. Hanya saja mungkin banyak dari kita yang tidak menyadari.
Dari 1 sampah pribadi menjadi tumpukan sampah yang super tinggi
Sampah-sampah ini sebenarnya bisa dimanfaatkan jadi produk baru yang lebih bernilai. Langkah ini bukan hanya menyelesaikan isu lingkungan yang kotor dan potensi munculnya sejumlah isu kesehatan, tapi juga pemanfaatan benda sisa menjadi sesuatu yang lebih berharga dan bernilai jual sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat yang mengolahnya.
Sampah organik sendiri bisa diolah menjadi pupuk kompos, pakan ternak, bahkan bahan biogas lewat pemanfaatan gas metana yang dihasilkan. Langkah pemanfaatan gas metana menjadi sumber energi terbarukan ini sudah dilakukan oleh masyarakat di Aceh, Balikpapan, Kepanjen (Malang), Talangagung (Malang), Bojonegoro, Kebumen, hingga Pasuruan.
Sedangkan sampah anorganik bisa 'disulap' menjadi produk kerajinan berbagai rupa. Sama, tak hanya mengurangi tumpukan sampah, upaya ini juga membuka peluang hadirnya potensi ekonomi bagi pelakunya.
Masalahnya, SIPSN menyebutkan, tahun 2023, dari total timbunan sampah sebanyak 56,6jt Ton, hanya 20,6jt Ton (sekitar 64,21%) sampah di Indonesia yang dikelola, sisanya 11,5jt Ton (35,79%) tidak dikelola.
Untuk menyamakan persepsi, dikelola dalam hal ini menurut Peraturan Menteri LHK No.6/2022, adalah jika sampah telah masuk ke fasilitas pengelolaan sampah seperti bank sampah, Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), Pusat Daur Ulang (PDU), Insenerator, Pusat Olah Organik (POO), serta diolah menjadi kompos atau produk kreatif lainnya.
Di samping itu, potensi ancaman serupa seperti TPA Leuwigajah masih berdiri megah di depan mata. Bayangkan saja, di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Kota Bekasi, sejumlah masyarakatnya hidup berdampingan dengan sampah yang menumpuk setinggi 40 Meter atau setara gedung yang tingginya 16 lantai yang luasnya 110,3 Ha.
Dalam kondisi setinggi inipun, TPST Bantar Gebang masih harus menampung lebih dari 15.000 Ton sampah setiap harinya.
Catatan ini menjadi bukti bahwa kita, seluruh penghuni Indonesia, masih memiliki tugas panjang untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Perjalanannya yang panjang dari produsen hingga tiba di TPA atau terbawa arus laut, atau mungkin menumpuk dan jadi sampah di berbagai tempat, membutuhkan perhatian yang serius dari semua lapisan masyarakat untuk bertanggung jawab.
Tidak bisa hanya satu pihak semata. Tidak bisa hanya pemerintah atau organisasi pemerhati lingkungan saja, tidak bisa! Produsen, Pemerintah, industri, pemerhati lingkungan hingga masyarakat juga punya tanggung jawab yang sama.
Kenapa? Sebab kita semua punya andil terhadap isu yang sedang kita hadapi bersama saat ini; tumpukan sampah 40 Meter, serta cemaran di air, tanah dan udara itu, berawal dari pilihan kita dalam memilih kebutuhan harian rumah tangga.
Ternyata satu sumbangsih sampah dari setiap orang, akumulasi sampah harian, bulanan hingga tahunan, bisa membentuk gunungan sampah sedahsyat itu.
Limbah sabun dan bahayanya bagi lingkungan dan manusia
Meski sebagian sampah bisa diolah kembali menjadi barang baru bernilai ekonomi, tak semua sampah bisa diperlakukan dengan cara yang sama. Ada yang memang setiap penggunaannya akan berakhir menjadi limbah yang mencemari air, tanah atau udara. Limbah sabun contohnya.
Limbah sabun ini menjadi berbahaya dan bisa mencemari air karena kandungan bahan kimia seperti fosfat dan surfaktan. Air yang sudah tercemari mudah sekali kita deteksi seperti warnanya yang keruh bahkan hitam, mengeluarkan aroma tidak sedap, kotor, dan biasanya muncul busa atau buih pada permukaan air.
Setiap harinya, manusia menggunakan berbagai produk pembersih seperti sabun mandi, sabun cuci tangan, detergen, pembersih kamar mandi dan banyak jenis pembersih lainnya.
Sepintas, penggunaan produk ini semacam hal ringan yang tak perlu dipersoalkan. Namun jika kita bicara soal akumulasi, saat ini, jumlah penduduk Indonesia pada semester 1 tahun 2025 menurut Data dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri mencapai 286.693.693 jiwa.
Akumulasi jumlah ini dengan perkiraan mandi 2x dalam sehari, mencuci tangan minimal 3x sehari, mencuci piring 1x sehari dan mencuci pakaian 2x dalam sepekan, kira-kira, sebanyak apa limbah sabun yang dihasilkan dan seluas apa dampaknya pada pencemaran tanah dan air?
Kira-kira, kemana mengalirnya air bekas penggunaan produk pembersih ini?
Dilansir dari arahenvironmental.com, air bekas penggunaan produk pembersih jika tidak disertai dengan pengolahan, maka akan mengalir ke saluran umum seperti got atau selokan, bisa juga langsung ke tanah yang akhirnya akan mencemari sungai dan badan air lainnya.
Ini akan mengakibatkan eutrofikasi, sebuah kondisi yang menyebabkan alga tumbuh secara berlebihan dan menguras Oksigen air serta meracuni biota air, hingga pencemaran tanah dan udara.
Ini mungkin jarang sekali jadi bahasan dalam tongkrongan, jika biota air mati akibat pencemaran, artinya manusia akan kekurangan air bersih, tersiksa dengan aroma busuk yang berasal dari bangkai biota air, timbulnya berbagai penyakit dan berpotensi menyebabkan terjadinya gangguan pada rantai makanan yang bisa mengurangi ketersediaan pangan.
Ringkasnya dampak limbah sabun ke manusia bisa melebar kemana-mana, mulai dari terjadinya krisis air, dan potensi masalah kesehatan jangka panjang akibat akumulasi zat kimia berbahaya seperti surfaktan dan bahan toksik lainnya di dalam tubuh.
Sebetulnya, air bekas sabun atau air yang tercemari sabun bisa dikelola kembali dengan menggunakan metode biologis seperti biofilter atau instalasi pengelolaan limbah dengan mikroorganisme, menggunaan metode kimiawi seperti koagulasi dan flokulasi dengan bahan kimia untuk mengendapkan zat pencemar, hanya saja, metode ini mahal sekali harganya untuk digunakan di rumah tangga.
Berkisar jutaan hingga miliaran Rupiah membuat metode ini umumnya bisa kita temukan di industri-industri berskala besar. Mendaur ulang penggunaan air produksi mereka sebagai bentuk penerapan kepedulian terhadap lingkungan.
Sebetulnya bisa saja mengelola air yang tercemar sabun dengan menggunakan metode alami seperti menanami selokan dengan tanaman air penyerap, eceng gondok.
Tanaman ini memiliki sifat dapat menyerap berbagai polutan organik dan anorganik termasuk residu deterjen dan limbah sabun dengan akar serabutnya yang berfungsi menjebak partikel padat dan menyerap zat terlarut.
Sayangnya, populasi eceng gondok yang tumbuh di air tercemar, cepat dan mudah sekali berkembang begitu banyak. Jika dibiarkan, justeru menyebabkan permasalahan baru seperti tumpukan eceng gondok, dan menghambat kelancaran arus air. Butuh atensi khusus untuk mengelolanya dengan baik. Opsi ini, meski memungkinkan namun sedikit sulit dilakukan terutama untuk skala rumah tangga.
Menekan dari hulu agar tidak sampai ke hilir
Seperti pepatah bijak katakan, jauh lebih baik menyediakan payung sebelum hujan turun. Pun demikian soal sampah. Jauh lebih berakal jika kita memilih produk kebutuhan rumah tangga yang ramah lingkungan untuk menekan jumlah sampah di penampungan.
Kunci untuk mengurangi limbah air sabun dan gunungan sampah di TPA berawal dari diri sendiri.
Ada beberapa langkah sebetulnya yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan hal ini:
1. Penerapan 5R.
Saat ini, Reduce (mengurangi), Reuse (menggunakan kembali), dan Recycle (mendaur ulang) sudah kurang tepat digunakan dengan gentingnya permasalahan sampah. 3R beralih jadi penerapan prinsip 5R yaitu Reduce (mengurangi), Reuse (menggunakan kembali), Recycle (mendaur ulang), Replace (mengganti) dan Replant (Menanam kembali).
Prinsip 5R sampah ini dihadirkan berkat kesepakatan berbagai pihak termasuk individu (rumah tangga), sekolah, perusahaan atau industri, serta pemerintah dan organisasi lingkungan.
2. Memilah dan mengolah sampah organik dan anorganik
Ini penting sekali dilakukan. Sedikit butuh effort memang karena harus menyiapkan beberapa tempat sampah berbeda di satu rumah, tapi dampaknya sangat luar biasa untuk kesehatan Bumi kita.
Pemilahan ini menjadi penting karena setiap sampah organik dan anorganik memiliki karakteristik dan pengolahan yang berbeda. Daun bisa dijadikan kompos tanaman, sedangkan sampah tekstil tidak.
Lewat pemisahan ini, proses daur ulang dan pengomposan bisa berlangsung lebih mudah, penumpukan sampah juga bisa lebih ditekan dan kualitas lingkungan hidup bisa lebih terjaga.
Jika bisa, kita pun turut berkontribusi dalam mengolah sampah rumah tangga pribadi menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat.
Sampah organik menjadi kompos bisa dilakukan secara konvensional atau dengan memanfaatkan komposter sampah organik yang harganya berkisar Rp300.000. Cara penggunaannya pun terbilang mudah, ada banyak petunjuk penggunaan di YouTube yang bisa digunakan sebagai pemandu saat mencoba.
Untuk sampah anorganik, kita bisa menggunakan botol bekas skincare menjadi tempat lilin yang lucu, misalnya. Reuse benda yang sudah kosong menjadi sesuatu yang bermanfaat.
3. Gunakan produk refill
![]() |
Salah satu contoh produk rumah tangga refill yang kami gunakan | Foto: Yuri Indonesia |
Percaya atau tidak, keputusan membeli produk rumah tangga isi ulang membuat kita bisa berkontribusi akan kebaikan tanah yang kita pijak kini.
Kok bisa?
Nyatanya produk refill lebih ramah lingkungan daripada produk yang dibeli per botol, kemasan ini mendukung ekonomi sirkular dengan penggunaan ulang wadah serta meminimalisir penggunaan sumber daya alam yang baru untuk pembuatan kemasan primer.
Misalnya saja, Yuri Hand Soap. Anda bisa membeli produk dengan kemasan pump untuk digunakan sehari-hari. Jika sudah habis, tinggal isi dengan Yuri Hand Shop refill yang tersedia dalam berbagai pilihan, mulai dari kemasan 375Ml hingga 3,7Kg.
![]() |
Yuri Hand Soap juga tersedia dalam kemasan refill 375 Ml | Foto: Dokumentasi pribadi - Efa Butar butar |
Jika ingin lebih total memberikan kebaikan pada Bumi, saran saya memang menggunakan refill dengan kuantitas 3,7Kg. Apalagi jika anggota keluarga cukup banyak. Harganya pun jauh lebih murah.
Kalau boleh menyampaikan harapan inovasi yang bisa dilakukan oleh brand ini, saya berharap betul produk refill berbentuk jerigen 3,7Kg bisa diisi ulang tanpa harus beli baru kemasan jerigennya. Jadi, beli produknya aja gitu. Sebuah upaya total dalam penerapan ekonomi berkelanjutan.
Sudah lebih dari satu dekade saya menjadi pengguna produk Yuri, terutama Yuri Hand Soap. Harganya jauh lebih terjangkau dibandingkan produk sejenis yang ada di Indonesia.
Secara personal, saya sangat suka aromanya, favorite saya orange. Aromanya yang lembut dan menenangkan selalu berhasil membuat mood saya kembali baik. Kolaborasi air mengalir yang dingin dan sabun cuci tangan yang wangi buat saya sangat ampuh untuk sekedar menarik nafas dan menenangkan diri dari riuhnya aktivitas di luar.
![]() |
Yuri Hand Soap varian Orange favorite saya | Foto: Dokumentasi pribadi - Efa Butar butar |
Bonusnya, tangan pun bersih dari kuman.
Produk ini saya tuang dalam kemasan botol transparan yang usianya juga sudah cukup tua. Tidak apa-apa, semakin lama masa pakai sebuah produk, maka semakin banyak pula sampah baru yang bisa kita tekan. Ini juga memudahkan saya dalam penggunaan sehari-hari di rumah, tinggal pump satu kali, cuci tangan sampai bersih.
Viskositas produk ini tidak begitu tinggi, meski demikian, 1 pumpnya sudah sangat cukup untuk membersihkan seluruh bagian tangan. Buihnya tidak begitu banyak, lembut di kulit dan hasil bilasannya pun keset tanpa membuat kulit terasa kering.
Poinnya adalah, penggunaan produk refill memiliki manfaat yang sama dengan produk yang berada di dalam kemasan utama seperti kemasan botol.
4. Memilih produk yang ramah lingkungan
![]() |
Yuri Hand Soap Terbuat dari kandungan yang dapat terurai secara hayati | Foto: Dokumentasi pribadi - Efa Butar butar |
Sebelum membeli sebuah produk, sebaiknya cari tahu apakah produk tersebut ramah lingkungan atau tidak. Sebagai konsumen, ini bisa kita ketahui lewat penggunaan beberapa label yang menunjukkan produk tersebut ramah lingkungan seperti simbol alam, ikon daur ulang yang dibentuk oleh tiga panah membentuk segitiga atau lingkaran, palet warna alam seperti hijau, juga sertifikasi resmi Eco-label.
Anda juga bisa mencari tahu kandungan produk tersebut. Yuri Hand Soap misalnya, pada kemasannya, perusahaan ini secara gamblang menjelaskan bahwa produknya diformulasikan dengan bahan alami tanpa paraben, Surfaktan Biodegradable yang dapat terurai secara hayati, emolien atau pelembap seperti Vitamin E dan tentunya agen antibakteri untuk menghambat atau membunuh pertumbuhan baketri di tangan.
Sebagai bentuk keseriusan industri ini dalam menjalankan bisnis berkelanjutan, formula yang ramah lingkungan juga diterapkan pada sejumlah produk mereka yang lainnya.
Dengan begitu, mengonsumsi produk Yuri bukan hanya melengkapi dan menyelesaikan sejumlah kebutuhan rumah tangga, keputusan berbelanja produknya yang ramah lingkungan juga membantu kita berkontribusi memberikan kebaikan pada Bumi.
Keputusan berbelanja kebutuhan rumah tangga, penentu berkurangnya sampah dan limbah dari manusia
Masyarakat Indonesia, masih memiliki PR berat soal permasalahan sampah, salah satunya TPST Bantar Gebang yang tingginya setara gedung 16 lantai. Kita semua bisa berharap agar gunungan sampah ini tidak meledak sewaktu-waktu, namun jika sampah sebanyak 15.000 Ton per hari masih terus dihantarkan ke sana, apakah potensi ledakan tersebut mungkin terjadi? No body knows, tapi sekali lagi, semoga tidak.
Bagaimanapun, agar sampah tidak terus memasuki TPA atau TPST, mari mulai bertanggung jawab dengan sampah dan limbah pribadi. Alih-alih pusing memikirkan bagaimana cara mengolah sampah yang sudah terlanjur ada, jauh lebih baik kita pikirkan sebelum berbelanja, bagaimana agar setiap kebutuhan rumah tangga kita tak harus masuk ke area pembuangan akhir sampah.
Mengingat sumbangsih sampah rumah tangga masih tertinggi, maka setiap keputusan kita dalam berbelanja kebutuhan rumah tangga, akan menjadi penentu berkurangnya sampah dan limbah dari manusia.
Suatu kewajiban untuk kita menjaga diri tetap bersih dan tetap sehat, namun keduanya tidak menjadi alasan kita abai dengan kesehatan lingkungan yang kita tinggali. Jika ketiganya bisa berjalan beriringan, kenapa tidak?
Manusia bersih dan sehat, Bumi tetap lestari dan terjaga.
Mari, rapatkan barisan, lakukan hal terkecil yang bisa dilakukan untuk kebaikan Bumi dan untuk kebaikan manusia itu sendiri.
Referensi tulisan:
https://data.goodstats.id/statistic/383-sampah-indonesia-berasal-dari-rumah-tangga-tsrBx
https://www.tempo.co/lingkungan/ledakan-tpa-leuwigajah-insiden-paling-parah-yang-pernah-terjadi-di-indonesia-141803
https://www.instagram.com/p/DN0NB_PZGCi/?img_index=1
https://m.antaranews.com/berita/789703/eceng-gondok-di-waduk-sunter-utara
Comments
Post a Comment