Inklusifitas JNE Buka Peluang Disabilitas Daksa Lebih Berdaya

Menikmati Keripik Pisang Bususi | Foto: Dokpri - Efa Butar butar

Semesta berpihak pada mereka yang bergerak

Namanya Fadhlan Septa Nurilham, salah satu peserta pelatihan kemampuan digital tahun lalu di Bandung. Fadhlan, begitu ia dipanggil.  

Sebetulnya, Fadhlan hanya peserta terpilih cadangan. Waiting list kasarnya. Tapi memang, semesta selalu berpihak pada mereka yang bergerak. Pagi itu, 20 menit sebelum acara dimulai, salah seorang peserta tiba-tiba saja mengundurkan diri. 

Demi mengisi kekosongan tersebut, panitia menghubungi satu peserta cadangan teratas. 

"Baik, saya ke sana," Hanya itu jawaban yang kami terima saat itu. Kalau boleh jujur, sesungguhnya panitia tidak berharap banyak. Siapa juga yang mau hadir dengan undangan dadakan begitu? Hanya berselang 20 menit sebelum acara dimulai pula. 

Benar saja, 5 menit sudah berlalu. Acara sudah dibuka sementara peserta pengganti tak kunjung menampakkan diri. Tidak apa-apa sebenarnya, kami sangat memaklumi jika pun ia tak hadir, hanya saja, rasanya sayang jika sampai ada bangku kosong yang semestinya bisa diberikan kepada orang lain yang sungguh membutuhkan ilmunya. 

Kami salah. 10 menit pasca acara dibuka, seorang anak muda laki-laki berperawakan kurus dan tinggi masuk ke ruangan. Langkahnya pincang dan tergopoh-gopoh. Dengan keringat di wajah, ia menghampiri meja registrasi. "Fadhlan, Ka." Katanya menurunkan intonasi suaranya, lalu mengendap-endap sehening mungkin agar tidak mengganggu jalannya acara menuju satu-satunya kursi peserta yang kosong di ruangan itu. 

Kehadirannya di pagi itu menjadi bukti dan kesungguhan betapa ia butuh ilmu yang disajikan dalam program yang sedang berlangsung. 

Di sesi istirahat pertama, ia menghampiri salah satu panitia "Ka, maaf, tadi saya terlambat datang." Katanya sembari tersenyum kikuk. 

Permintaan maaf itu sungguh tak perlu, sebab ia tak bersalah. Panitia justeru sangat mengapresiasi kesigapannya dalam menangkap peluang. Sat set menjaring kans yang ada di depan mata. Inspiratif sekali. 

Satu tahun berselang, program yang sama berulang. Kali ini, menyasar teman-teman disabilitas khususnya Teman Tuli dan Teman Daksa pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). 

Ada satu nama yang cukup familiar dalam jajaran pendaftar teratas, Fadhlan Septa Nurilham. Lagi-lagi, ia menangkap probabilitas yang ada di hadapannya. 

Belakangan saya tahu, demi eskalasi pemahaman di dunia digital, setiap pelatihan yang ia ketahui, tak pernah dilewati. Jika tidak ada, ia belajar secara otodidak. 

Fadhlan, Teman Daksa dari Bandung, dan Keripik Bususi

Fadhlan dan Keripik Pisang Bususi | Foto: Dokpri - Efa Butar butar

Fadhlan adalah seorang penyandang disabilitas daksa atau Teman Daksa.

Saat berusia 2 tahun, ia terserang panas tinggi yang membuatnya mengalami epilepsi. Sejak itu, Fadhlan lumpuh tangan dan kaki sebelah kiri. 

Entah bisa disebut beruntung, orangtuanya tak putus asa dengan kondisi tersebut. Fadhlan terus difasilitasi dengan sejumlah terapi, kaki sebelah kiri yang sempat mengalami kelumpuhan, kembali bisa diajak melangkah meski sedikit terseok. 

Perjuangan Fadhlan dalam menyelesaikan sakit masa kecilnya masih berjalan sampai saat ini. Di usianya yang ke 25 tahun, ia masih terus mengonsumsi obat epilepsi itu. 

Kita putuskan saja, Fadhlan memang anak yang beruntung. Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, prevalensi disabilitas di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 2.697.727 anak atau sekitar 3,3% dari total populasi anak. 

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) periode Januari - Agustus 2023, terdapat 121 kasus kekerasan terhadap anak disabilitas dengan 122 korban, termasuk anak perempuan dan laki-laki.

Artinya, masih banyak anak penyandang disabilitas di Indonesia yang mengalami diskriminasi baik dalam bentuk akses pendidikan, layanan kesehatan hingga partisipasi sosial. 

Bahkan terkadang, bentuk diskriminasi ini hadir dari keluarga sendiri. Tak jarang keluarga "menyembunyikan" anaknya yang merupakan penyandang disabilitas. Bukan karena sang anak tak mampu, lebih karena kondisi disabilitasnya yang dianggap "beban" atau "aib" oleh keluarga. 

Inilah yang kemudian memperparah kondisi anak. Sudahlah disabilitas, kehilangan perlindungan dan kepercayaan dari keluarga yang semestinya jadi pelindung di garda terdepan, dibatasi pula pada akses pendidikan. 

Fadhlan beruntung. Ketika orang lain "menyembunyikan" anak disabilitasnya, ia justeru diberi kepercayaan oleh orangtuanya untuk melihat dunia yang luas dengan pandangannya sendiri. Mengeksplorasi hal-hal baru tanpa batas yang bersifat positif untuk mengembangkan kapasitasnya pasca menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di salah satu SMA Negeri di Bandung pada tahun 2018 silam.

Ternyata kepercayaan itu disambut baik oleh Fadhlan, ia mengasah kemampuannya dengan berbagai edukasi di bidang digital mulai dari desain visual dengan menggunakan Canva, pelatihan Content Creator, kelas digital marketing hingga mengikuti pelatihan pemanfaatan teknologi Chat GPT.

Cerdasnya, materi-materi yang ia terima rupanya tak berlalu begitu saja. Tidak hanya menjadi timbunan sertifikat tanpa karya. Ia justeru berkolaborasi dengan sang mama, Bu Susi,  yang jago bikin keripik pisang. 

Orangtuanya di bagian pengolahan, ia dengan kepiawaiannya dalam memanfaatkan dunia digital menjadi gerbang pengenalan produk menuju pasar yang lebih luas lagi.

Lewat kolaborasi tersebut kemudian muncullah Keripik Pisang Bususi.

Melesat sat set, menginspirasi tanpa batas

50 pesanan Keripik Pisang Bususi siap dibawa ke hotel saat Bu Susi jadi pemateri | Foto: Fadhlan 

Tentu bukan hal yang mudah untuk bersaing dengan produk sejenis yang sudah eksis sebelumnya. 

Meski demikian, Keripik Pisang Bususi rupanya tak kenal gentar. Satu per satu dibenahi. Mulai dari eksplorasi varian rasa yang ternyata cukup disukai pasarnya. Berawal dari rasa original, kini Keripik Pisang Bususi hadir dengan varian rasa tambahan seperti keju, coklat, matcha dan pedas. 

Legalitas dilengkapi, sebut saja pengajuan label halal pada produk pangan yang menjadi sebuah kewajiban bagi UMKM sampai akhirnya dicantumkan pada kemasan, tak lupa mengurus Nomor Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) untuk mendapatkan izin edar skala kecil, masa berlaku produk hingga keterangan nutrisi produk tak luput dari perhatian. 

Hasilnya, perlahan produk mulai diterima oleh masyarakat. Sayap penjualan juga kian dilebarkan. Yang tadinya hanya mulut ke mulut, kini Keripik Pisang Bususi berjajar cantik di booth UMKM Kantor Pos kota Bandung, pemesanan juga bisa dilakukan lewat WhatsApp, dan sejumlah E-Commerce. 

Sekali lagi, semesta berpihak pada mereka yang bergerak. Pasca melakukan sejumlah branding termasuk geotagging di Google Bisnis untuk menandai keberadaan Keripik Pisang Bususi di wilayah Bandung, satu per satu peluang mulai berdatangan. 

Kesempatan pertama bukan sembarangan. Sebuah instansi dari Palembang menghubungi langsung lewat Google Bisnis untuk meminta kesediaan sang mama menjadi pembicara bagi sejumlah orang tua yang bersiap memasuki masa pensiunnya. Berbagi contoh usaha yang bisa dijalankan pasca pensiun yang dilaksanakan di salah satu hotel berbintang di seputaran kota Bandung. 

Tak main-main, 50 pcs pesanan datang dari instansi tersebut untuk dibawa langsung ke hotel. Disusul kemudian 40 pcs yang harus dikirimkan ke Palembang usai acara berlangsung untuk dinikmati karyawan instansi tersebut di daerah asalnya. 

40 pcs  Keripik Pisang Bususi siap dikirimkan lewat JNE ke Sumatera Selatan | Foto: Fadhlan

Bukan hanya itu, Keripik Pisang Bususi, lewat branding dan pemasaran yang gencar, bisa berpartisipasi pula di sejumlah pameran UMKM. 

 Keripik Pisang Bususi saat mengikuti kegiatan di Bandung | Foto: Fadhlan

7 tahun sudah perjalanan ini berlangsung. Tidak mudah, tapi ternyata bisa juga. 

Fadhlan dan keluarganya berhasil membawa Keripik Pisang Bususi melesat sat set, membawa kisah inspiratif lewat kolaborasi seorang anak disabilitas dan orangtua yang memberi dukungan penuh pada sang anak.

Menyebarkan tawa

 Keripik Pisang Bususi dua bungkus berlima kurang | Foto: Dokpri - Efa Butar butar

Harus diakui, teksturnya yang renyah dan rasanya yang kaya menjadi daya tarik dari produk Keripik Pisang Bususi. Setiap gigitannya krenyes dan nikmat bikin mau lagi dan lagi. Dua bungkus saja tidak cukup untuk berlima, satu orang harus satu. Kalau hanya dua, bikin kami saling tatap dan rentan rebutan. Apalagi jika dinikmati usai melaksanakan seabrek kegiatan. 

Menyebarkan tawa, mungkin adalah kata yang paling tepat. Saya menyadari, ternyata produk cemilan pun bisa menghubungkan kebahagiaan seperti ini. 

Betul kata orang, yang diolah dari hati memang akan sampai ke hati.

Tidak bisa sendiri

Perjalanan Fadhlan dan keluarganya dalam membangun usaha kecil mereka membuat saya teringat pada JNE, ekspedisi yang ia pilih untuk mengantarkan produknya melintasi Selat Sunda sampai akhirnya tiba di Sumatera.

"Saat itu harga ongkos kirimnya Rp75rb karena dihitung volume kardus, Ka. Tapi kami tetap pilih JNE, karena biasanya pengirimannya lebih rapi dan lebih aman,"
Begitu kata Fadhlan ketika saya hubungi via WhatsApp. 

Ternyata, murah saja tidak cukup. Keamanan juga menjadi salah satu poin yang perlu digarisbawahi untuk memastikan produk pesanan tiba di tangan pelanggan dengan baik. 

Sat set, hanya butuh 4 hari, produk cemilan dari Bandung itu tiba di Palembang dengan selamat. Bicara soal lama pengiriman, tentu harus disesuaikan dengan preferensi layanan kirim yang diinginkan pelanggan itu sendiri agar bisa menyesuaikan ke budget ongkos kirimnya. Kalau mau sehari sampai juga bisa. Tinggal pelanggannya mau atau tidak saja. 

Tak peduli seenak apa produk ini, tak peduli sehebat apa branding dan pemasaran yang dilakukan, Keripik Pisang Bususi tentu tak bisa berdiri sendiri. Butuh penghubung jika ingin menjangkau pasar di seluruh Indonesia. Fadhlan dan keluarga memilih JNE untuk membentangkan sayapnya. 

"Kita juga kebantu, Ka. Soalnya kadang ada harga spesial untuk pelaku UMKM."

Inklusif

Komunitas Bandung Independent Living Center (BILIC), komunitas Teman Daksa yang sebagian besar di antaranya adalah pelaku usaha | Foto: Fadhlan 

Sama seperti Keripik Pisang Bususi yang ampuh menyebarkan bahagia di tengah para pelanggannya, JNE juga hadir mengantarkan kebahagiaan itu kepada seluruh pihak yang terlibat. 

Kepada pelanggan yang tak sabar ingin segera menerima pesananannya, kepada UMKM yang bahagia ketika produknya dipercaya, juga kepada para karyawan JNE yang terus dipercaya menjadi penghubung rasa bahagia. Seperti tagline nya, Connecting Happiness. 

Kabar baiknya, connecting happiness yang dilakukan oleh JNE selama 34 tahun ini, kini lebih inklusif. Siapa saja bisa menerima pesanan dari mana saja. Sebaliknya, siapa saja bisa mengirimkan produknya dari mana saja. 

Tidak ada lagi wilayah di Indonesia yang tidak dijamah oleh JNE, artinya, tidak ada batasan bagi siapa saja untuk berkarya. 

Lewat kehadirannya di seluruh pelosok Indonesia, JNE membuka peluang bagi siapa saja untuk memasarkan produknya, lintas kota, pulau bahkan provinsi.

Dan peluang inilah yang ditangkap oleh Fadhlan dan keluarga. Dengan dukungan JNE, ia yang sempat mengalami bully di masa kecil karena kondisi disabilitasnya, kini bisa menegakkan kepala dan berdaya, memandang dunia dengan berani.

Post a Comment

0 Comments