Eklin Amtor de Fretes Melawan Cerita Segregasi dengan Boneka Dodi

 

Eklin Amtor de Fretes bersama boneka Dodi | Foto oleh Eklin Amtor de Fretes

Konflik masyarakat bisa sebabkan trauma pada anak

Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2022 menyebutkan 5,5% remaja usia 10-17 tahun di Indonesia mengalami gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Dari jumlah tersebut 0,5% remaja mengalami gangguan mental post-traumatic stress disorder (PTSD).

Dilansir dari Halodoc, setiap anak berpotensi mengalami trauma. Penyebabnya pun cukup beragam, antara lain korban bully, cekcok orangtua, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, bencana alam, kematian orang terdekat, kecelakaan termasuk pula konflik yang terjadi di lingkungannya.

Dampaknya anak bisa mengalami gangguan stress pascatrauma bila tidak diatasi dengan baik. Anak bisa memunculkan perilaku negatif seperti cemas, takut berlebihan, murung, menarik diri, dan sulit berkonsentrasi pada pelajaran. 

Jangka panjangnya, trauma bisa pula menyebabkan anak tumbuh besar dan menjadi pribadi dewasa dengan kendali diri yang rendah, mudah terpancing emosi negatif, memiliki masalah dalam berelasi dengan orang lain termasuk keluarga, hingga mengalami gangguan tidur. 

Bayang-bayang konflik segregasi 1999 pada anak Maluku

Inilah yang dirasakan oleh sejumlah orangtua di Ambon, Maluku. Konflik sekretarian Kepulauan Maluku kala itu adalah konflik etnis-politik yang melibatkan agama di Kepulauan Maluku, Indonesia, secara khusus di Ambon dan Halmahera yang bermula pada era reformasi awal 1999 hingga penandatanganan Piagam Malino II tanggal 13 Februari 2002. 

Tumbuh besar dalam bayang-bayang cerita segregasi membuat orangtua kerap bercerita tentang konflik yang terjadi kala itu pada anak-anaknya. 

Alih-alih tumbuh besar dengan cerita baru yang lebih hangat, seru, menarik dan imajinatif, anak-anak di sana justeru tumbuh besar dengan cerita konflik segregasi yang masih diwariskan oleh para orangtuanya. 

Padahal, sering mendengar cerita konflik membuat rasa benci dan dendam tumbuh dalam diri anak. Belum lagi ada kecenderungan memberi label buruk kepada kelompok lain. 

Eklin Amtor de Fretes, misi perdamaian dari anak korban segregasi

Oklin Amtor De Fretes, di rumah dongeng | Foto: Kompas.id

Adalah Eklin Amtor de Fretes. Ia menjadi salah satu korban segregasi yang berusia 7 tahun kala konflik tersebut berlangsung.

Beruntung saja perjalanannya saat duduk di Sekolah Menengah Pertama menjadi pintu pembuka baginya untuk bertemu dengan teman-teman sebayanya yang berbeda agama. 

Pertemuan-pertemuan tersebut mengantarkannya pada satu kesimpulan bahwa mereka adalah korban provokasi atas nama agama. Provokasi yang terorganisasi, sistematis, dan masif dengan tujuan tertentu.

Keputusannya untuk mengambil studi Teologi di Universitas Kristen Indonesia di Ambon membuatnya semakin mantab untuk segera melangkah keluar dari tembok segregasi. 

Ia aktif terlibat dalam diskusi pemuda lintas agama, kegiatan lintas agama, termasuk menginisiasi berdirinya komunitas dan kegiatan bertema toleransi seperti Komunitas Jalan Merawat Perdamaian dan Kemah Damai Pemuda Lintas Iman. 

Komunitas ini bergerak mengusung misi menjadi katalisator dalam peningkatan mutu pendidikan di Provinsi Maluku melalui networking, kolaborasi, pemberdayaan, pembelajaran, serta inovasi. 

Langkah ini ia tempuh untuk mewujudkan misi perdamaian dari anak korban segregasi. 

Melawan cerita segregasi dengan boneka Dodi

Tak ingin ada lagi cerita kelam dari bayang-bayang agregasi, Eklin kemudian mendirikan program bernama Youth Interfaith Peace Camp yang dihadirkan untuk berbagi tentang nilai-nilai perdamaian dan menghidupkan perdamaian lewat kreativitas dan keseharian hidup. 

Di atas makam kakeknya, tahun 2019 ia membangun Rumah Dongeng berukuran 4mx3m yang disediakan menjadi rumah bersama bagi siapa saja. 

Di dalam Rumah Dongeng tersebut, semua orang diedukasi untuk belajar bahasa Inggris, bahasa Jerman termasuk menghadirkan kelas seni. 

Tujuannya, agar setiap anggota yang terlibat di dalamnya dapat menyampaikan dongeng dalam berbagai bahasa sambil menerapkan unsur seninya. 

Eklin percaya, dongeng merupakan sebuah media pendidikan yang menghidupkan nilai dan merawat perdamaian khususnya di Maluku. 

Hingga kini, Eklin masih aktif memberikan edukasi dengan cara bercerita tentang pesan perdamaian yakni pluralisme dan toleransi lewat Boneka Dodi, nama yang ia pilih sebagai akronim dari Dongeng Damai untuk menyampaikan ceritanya pada anak-anak.

Meraih SATU Indonesia Award dari Astra Internasional Tbk

Berkat misi damai yang dibawanya melalui dongeng, tahun 2020, Eklin kemudian berhasil meraih juara satu dalam ajang SATU Indonesia Award kategori bidang pendidikan yang diselenggarakan oleh PT Astra Internasional Tbk. 

Referensi tulisan:

https://www.kompas.id/baca/nusantara/2020/12/01/boneka-menembus-sekat-segregasi?status=sukses_login&status_login=login

Post a Comment

0 Comments