Berkah Kerja Ikhlas dari Si Ratu Sampah

 

Amilia Agustin saat masih SMA | Foto: JIBI Photo 

Aku berjalan beriringan bersama sejumlah anak sekolah yang kala itu bersamaan turun dari transportasi umum. 

Tak berapa lama, mereka melangkah lebih dahulu dan meninggalkanku berjalan sendiri di belakang. 

Beberapa sambil berlarian sebagian tertawa cekikikan entah apa yang dibicarakan. Seorang dari mereka berjalan terpisah. Langkahnya tenang tapi pasti. 

Sesekali, ia membungkuk. Memungut sampah yang tergeletak sembarang di jalanan. Sampah yang sudah dilalui lebih dulu oleh para teman sebayanya itu, kemudian dipindahkannya ke tempat sampah yang tersedia di kiri jalan. 

Sampai akhirnya, kami berpisah di persimpangan jalan. 

Pemandangan ini membawaku pada sebuah cerita tahun 2010 silam. Kala seorang anak perempuan dari SMA Negeri 11 Bandung, berhasil menyabet gelar "Ratu Sampah".

Ini bukan sebuah cerita fiktif. Ini sebuah cerita yang sungguh terjadi dan masih berlanjut hingga kini. Berkah dari si Ratu Sampah masih terus  mengalir tanpa lelah. 

Amilia Agustin Si Ratu Sampah Sekolah

Amilia Agustin | Foto: Viva 

Istilah Ratu selalu merujuk pada hal-hal yang berkaitan pada kebangwasanan. Biasanya pemilik gelar ini dideskripsikan anggun, manis, mewah, mahal, bersih dan berhati baik. 

Selain bangsawan, gelar ratu juga kerap didapat dari ajang perlombaan yang menyangkut kegiatan khas kewanitaan. 

Dilansir dari Wikipedia, ratu adalah gelar kebangsawanan di Indonesia dan dapat merujuk kepada dua hal, yaitu wanita yang memimpin kerajaan atau istri dari seorang raja. 

Lalu, apa jadinya jika seorang perempuan kerap "bermain" dengan sampah? Layakkah ia disebut sebagai ratu?

Amilia Agustin berhasil meredefenisi kata tersebut, bahwa ratu tak melulu tentang sebuah ajang, tak pula harus jadi istri seorang raja. 

Ya, adalah seorang Amilia Agustin. Kala itu, ia masih duduk di bangku SMA dan berhasil mendapat gelar penghargaan SATU Indonesia Award pada tahun 2010 karena kontribusinya terhadap sanitasi kota Bandung. 

Tak jauh dari sekolahnya, ada sebuah Tempat Pembuangan Sampah Sementara Terpadu (TPST) yang menimbun banyak sampah setiap harinya. 

Permasalahan sampah memang terus menjadi PR bersama. Selain tak sedap dipandang mata, sampah juga jadi sumber penyakit utama bagi orang-orang di sekelilingnya. 

Tak boleh dilupakan pula, tragedi longsoran sampah Leuwigajah, Bandung, pada tahun 2005 silam menyapu dua pemukiman sehingga memakan korban sebanyak 157 jiwa orang. 

Pemandangan sampah ini menggugah hatinya. Belum lagi, fakta bahwa timbunan sampah yang ada di TPST sebagian adalah sampah sekolahnya, membuat dirinya mencari solusi bagaimana agar penumpukan sampah tersebut bisa berkurang. 

Ia dan teman-temannya yang hanya seorang anak SMP di masa itu, sempat mendapatkan kesulitan dalam menemukan ide eksekusi . Tak ingin berhenti, mereka memutuskan meminta masukan dari  guru ekstrakurikuler sains club mereka. Bu Nia namanya. 

Lewat Bu Nia, satu per satu ilmu mengurangi penumpukan sampah akhirnya ditemukan juga. Mia - Begitu Amilia dikenal - dan teman-temannya kemudian diperkenalkan dengan Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB).

Yayasan inilah yang kemudian memberikan pemahaman bagaimana cara membuat kompos dan memilah sampah. 

Kabar baiknya, Mia dan teman-temannya bukanlah orang yang pelit ilmu. 

Ia membagikan setiap pemahaman baru yang diterimanya kepada warga sekolah dalam bentuk sebuah campaign. 

"Akhirnya kita belajar waktu itu, bikin kompos dan memilah-milah sampah. Kita mulailah campaign di sekolah bagaimana membuat tempat sampah yang terpilah" Ujarnya seperti yang tercantum dalam E-Booklet 13th SATU INDONESIA AWARDS 2022 - Semangat Bergerak dan Tumbuh Bersama. 

Sampai akhirnya, tahun 2009, Ami bersama teman-temannya membuat program Go To Zero Waste School. 

Program ini kemudian dibagi menjadi empat bidang pengelolaan sampah, yaitu pengelolaan sampah anorganik, pengelolaan sampah organik, pengelolaan sampah tetrapak, dan pengelolaan sampah kertas. 

Hasilnya, lewat pengelolaan tersebut, Ami dan komunitasnya berhasil membuat sejumlah produk berbeda seperti tas dan pupuk kompos. 

Berkah program si anak sekolah

Niat tulusnya si anak sekolah rupanya menjadi berkah. 

Berkah untuk sekolah, berkah untuk lingkungan di sekitar sekolah, berkah orang-orang di sekitarnya, berkah pula untuk kota Bandung.

Tak hanya berhasil mengurangi tumpukan sampah dan tebaran penyakit, lewat program tersebut, Ami dan teman-temannya juga telah berkontribusi menaikkan perekonomian masyarakat lewat produk yang dihasilkan dari sampah. 

Ya, rupanya Ami juga memberikan edukasi kepada ibu-ibu di sekitar sekolah untuk mendaur ulang sampah, bekerja sama membuat produk dari sampah, hingga membuat desain produk yang menarik para pembeli. 

Produk-produk tersebut kemudian dijual di pameran serta online store dan hasilnya bisa ditabung atau digunakan untuk kebutuhan sekolah anak-anak mereka. 

Perjalanannya menjadi Ratu Sampah juga memberikan sejumlah peluang dan penghargaan baginya, termasuk menjadi salah satu penerima SATU Indonesia Award tahun 2010 silam yang diselenggarakan ASTRA.  

Lifetime Ratu Sampah

Sebetulnya, kepedulian Ami terhadap lingkungan sudah tampak bahkan lebih dini, yaitu sejak duduk di bangku SMP, kala ia berusia 12 tahun. 

Program Go To Zero Waste School yang digagasnya menjadi sebuah proposal Karya Ilmiah Remaja dalam acara Young Changemakers dari ASHOKA Indonesia. Gagasan dengan biaya operasional sebesar Rp 2,5jt tersebut kemudian disetujui, lalu dikembangkan dan menjadi inspirasi bagi siswa-siswi sekolah lain di Bandung. 

Masih sama seperti masa remajanya, hingga kini "gelar" Ratu Sampah yang diembannya masih terus dilaksanakan dengan baik. 

Mia kerap tampil mengisi acara sekaligus memberikan edukasi  seputar perubahan lingkungan dengan mengurangi limbah sampah. 

Setelah diterima kuliah di Universitas Udayana, Bali, Mia kembali menyuarakan perubahan terhadap lingkungan yang diberi nama "Udayana Green Community". 

Ia tak hanya menyuarakan di sekitar kampus, komunitasnya pun menyasar sejumlah SD dan SMP di Denpasar. Selain itu, ia dan teman-temannya melatih warga di desa-desa untuk melakukan pengolahan sampah terpadu, mengamalkan nilai Tri Hita Karana - Menghormati Tuhan, manusia, dan alam. 

Bahkan setelah memasuki dunia kerja, tanggungjawab menjadi Ratu Sampah yang telah diembannya sejak ramaja itu terus dilaksanakan. 

Ya, Mia si Ratu Sampah sepertinya akan tetap mengemban gelar tersebut hingga seumur hidupnya. Menebar edukasi untuk Bumi yang lebih baik lagi. 

Kelak, lewat campaign yang terus disuarakannya, akan "lahir" Mia Mia baru yang bersuara di wilayah mereka masing-masing. Dengan begitu, kita bisa berharap tak akan ada lagi tragedi Leuwigajah lain yang akan terulang di masa-masa mendatang.

Post a Comment

0 Comments