![]() |
Budidaya Maggot BSF | Foto: Aliasi ZERO Waste Indonesia
Tragedi sampah dari rumah, bumihanguskan 2 kampung di Leuwigajah
![]() |
Tragedi Leuwigajah, bumihanguskan 2 kampung di Leuwigajah | Foto: Greeneration Foundation |
Mengungkit lagi tragedi Leuwigajah mungkin akan menyingkap kembali luka mendalam bagi warga di sana, seisi Bandung Raya dan masyarakat Indonesia. Luka ini, mestinya juga mencoreng harkat, martabat dan nama baik pihak-pihak terlibat namun tidak becus dalam mengurai masalah sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah.
Tapi, luka yang sama akan bolak balik kita bahas kembali, bukan untuk menggerogoti lagi luka yang mungkin sudah terjahit dengan bekasnya yang tidak akan pernah hilang, namun sebagai pembelajaran dan catatan penting agar hal yang sama tidak pernah terjadi kembali.
Sebagai pengingat tragedi ini, 'lahirlah' Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) yang kita peringati di tanggal yang sama di mana hari naas ini tiba.
21 Januari 2005, masyarakat Indonesia khususnya Bandung Raya harus menitikkan air mata. Pasalnya, total 143 warga dari 2 Kampung; Kampung Pojok dan Cilimus terkubur hidup-hidup lalu tewas tertimbun sampah akibat ledakan TPA Leuwigajah.
Kejadian memilukan ini bukan hanya mengambil nyawa saja, tapi juga termasuk kebun dan lahan pertanian warga Kampung Pojok.
Bermula dari sampah rumah tangga, instansi hingga perkantoran yang dihantarkan ke TPA Leuwigajah dalam kondisi tercampur antara sampah organik dan anorganik dalam kurun waktu yang lama yang kemudian membentuk 'gunungan' sampah setinggi 60 meter, sepanjang 200 meter.
Kondisi ini kemudian diperparah dengan datangnya hujan lebat yang berlangsung seharian sehari sebelum tragedi Leuwigajah terjadi.
Elaborasi campuran sampah organik dan anorganik, serta hujan lebat yang datang terus menerus sepanjang hari pada akhirnya meningkatkan konsentrasi gas metana sehingga menimbulkan ledakan.
Ledakan tersebut kemudian membuat gunungan sampah longsor lalu membumihanguskan Kampung Pojok dan Kampung Cilimus. Tragedi inilah yang kemudian menelan ratusan nyawa pada hari itu.
Waspada hal yang sama, TPST Bantargebang setara 16 lantai ada di depan mata
![]() |
Timbunan sampah di TPST Bantargebang | Foto: CNN Indonesia |
Meski tragedi Leuwigajah terus digaungkan kembali setiap tahunnya sebagai pengingat, jelas Indonesia, khususnya Jabodetabek, harus tetap waspada.
Pasalnya, masih bertetangga dengan Jakarta, Bekasi masih punya Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang dengan ketinggian 40 meter atau setara dengan gedung 16 lantai.
Jumlah sampah yang masuk ke TPST Bantargebang menurut CNN Indonesia dan media ANTARA, terbilang bervariasi. Mei 2022, jumlah sampah yang masuk adalah 8.000 ton per hari. Mei 2023 sebanyak 7.500 - 8.000 ton per hari. Dan Mei 2024 lebih dari 15.000 ton per hari.
Tingginya gunungan sampah ini jelas mengundang banyak kerugian bagi warga setempat. Pencemaran air, tanah, udara jelas terjadi. Sialnya, meski demikian, air itu pulalah yang pasti digunakan oleh warga setempat untuk kebutuhan sehari-hari yang tentu dapat memengaruhi kesehatan warga.
Sampah inipun akan mengeluarkan bau tidak sedap yang tentu mengundang rasa tidak nyaman bagi siapa saja yang melintas apalagi tinggal di sana, dan tak elok pula dipandang mata. Udara yang sama itu pulalah yang dihirup setiap hari oleh warga di sana.
Sebuah jurnal dari ecotas.org menyebutkan bahwa kapasitas TPST sudah mencapai overload. Dan meningkatnya volume sampah ini berbanding lurus dengan adanya potensi ancaman keselamatan dan kenyamanan di sekitar area TPST Bantargebang, salah satunya potensi terjadinya longsor sampah serta aspek kesehatan yaitu berbagai penyakit kulit, pernafasan, hingga Demam Berdarah.
TPA Leuwigajah yang setinggi 20 meter saja bisa meratakan 2 kampung dan seluruh isinya. Artinya, seperti bom waktu, potensi kerusakan dan ancaman keselamatan yang lebih dari itu mungkin saja terjadi jika TPST ini tidak diolah dengan baik.
Anomali sampah organik; diam jadi musibah, diolah jadi berkah
![]() |
Contoh sampah organik | Foto: Waste4change |
Meski permasalahan sampah organik semakin masif disuarakan, nyatanya masih banyak yang kerap salah kaprah urusan hal ini.
Sampah makanan (sampah organik) yang terbuang, sering kali dinilai tidak berbahaya karena dapat diolah menjadi pupuk kompos. Betul memang, hanya, dengan catatan, sampah organik tersebut, diolah dengan baik. Sebab jika tidak, sampah organik dapat membahayakan manusia dan lingkungan.
Titik bahayanya berasal dari proses terurainya unsur organik pada sampah.
Pada sampah organik, proses penguraian limbah organik terjadi secara anaerobik dimana Metanogen selaku mikroorganisme, mengurai limbah tanpa udara. Hasilnya adalah gas metana yang memiliki sifat mudah terbakar.
Biasanya di TPA, gas metana ini tercipta karena sampah di dalam gunungan tidak mendapatkan paparan Oksigen sehingga muncullah banyak metanogen. Dan inilah yang menjadi biang kerok penyebab utama terjadinya tragedi Leuwigajah.
TPA tersebut meledak karena deposit matenogen yang luar biasa di dalam TPA.
Di sisi berbeda, gas metana adalah salah satu bahan bakar alternatif untuk kendaraan, pembangkit listrik dan memasak. Selain itu, gas ini juga dimanfaatkan oleh 95% industri pupuk sebagai bahan bakar mesin maupun bahan utama. Bila dimanfaatkan semaksimal mungkin, pengelolaan gas metana jelas menciptakan lapangan kerja baru di sektor energi dan lingkungan.
Harus kita akui, sampah organik ini diam jadi musibah, namun bila diolah, akan jadi berkah.
Kabar baiknya di tengah timbunan sampah yang terus masuk ke TPST Bantargebang, nyatanya banyak aktivitas pengolahan sampah yang dilakukan di sana, seperti pengomposan sampah organik dan terdapat pula fasilitas power house atau pembangkit listrik tenaga sampah, instalasi pipa untuk pemanfaatan gas metana serta pengolahan air sampah untuk dapat menangani sampah lebih maksimal.
Dengan begitu, kita bisa sedikit berharap, tragedi 21 Januari 9 tahun yang lalu, tidak akan pernah terjadi lagi.
Namun, bila ingin lebih tenang lagi, urusan sampah kini tak bisa lagi hanya diserahkan ke salah satu instansi saja. Persoalan sampah yang kompleks dari tahun ke tahun ini, pada akhirnya jadi tanggungjawab bersama. Mulai dari rumah tangga, masyarakat, organisasi, coorporate hingga pemerintah. Dengan begitu, kita berani berharap, urusan sampah bisa diselesaikan dari hulu hingga ke hilir.
Konflik sampah Banyumas
Bicara soal tanggungjawab atas sampah agar selesai dari hulu hingga ke hilir, memang sebaiknya diedukasi dan dilakukan pertama kali dengan pemilahan sampah rumah tangga sebagaimana yang kemudian diarahkan oleh Pemkab Banyumas ke seluruh warganya usai menghadapi konflik sampah di sana.
Dari darurat sampah, gerakan masif yang dilakukan oleh Bang Arky, begitu ia disebut, nyatanya bisa menjadi jalan pembuka Rupiah bagi dirinya dan warga setempat. Belum lagi, langkah ini jadi solusi apik untuk mengembalikan kondisi lingkungan jadi lebih asri dan sehat.
Tahun 2018 lampau, Banyumas, Jawa Tengah, juga sempat mengalami darurat sampah. Sebanyak 960 Ton sampah setiap hari menjadi persoalan di kota kecil ini.
Pasalnya, usai TPA Gunung Tugel di Kedungrandu, Kecamatan Patikraja ditutup, masyarakat beralih membuang sampah ke TPA Kaliori di Desa Kaliori, Kecamatan Kalibagor, Banyumas.
Namun, pada hari Senin, 2/4 silam, sekitar 200 warga desa setempat mengadakan demo dengan memblokade jalan menuju TPA Kaliori karena ternyata TPA tersebut telah mencemari lingkungan.
Tidak hanya menimbulkan bau tak sedap, dampak buruk yang dibawa TPA juga nyatanya berimbas ke air.
Bahkan, ada sumur yang biasanya dapat dimanfaatkan oleh warga, tak lagi bisa digunakan akibat pencemaran tersebut. Selain itu, air berubah jadi berwarna cokelat akibat terdampak dari TPA dan masuk ke sawah. Air ini nyatanya tidak membantu padi tumbuh sebagaimana mestinya dan tentu ini menimbulkan kerugian cukup besar bagi warga setempat mengingat mereka tak lagi bisa bercocok tanam seperti biasanya.
Urusan sampah ini akhirnya membuat Pemkab Banyumas mengambil opsi lain yakni dengan membuang sampah di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Tipar, Kecamatan Ajibarang, Banyumas.
Sayangnya sebulan kemudian, warga Tiparkidul yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Masyarakat Peduli Lingkungan Hidup (FSMPLH) melakukan blokade di TPS karena ternyata kesepakatan dengan Pemkab Banyumas ke TPS Ajibarang hanya sampai Senin (21/5) kala itu.
Masyarakat meminta truk-truk yang membawa sampah dari wilayah timur Banyumas putar balik.
Lanjut lagi, Pemkab kembali mencoba membuang sampah ke bekas TPA Gunung Tugel, namun lagi-lagi harus menerima penolakan oleh warga.
Akibatnya, menurut perhitungan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH), ada 40 truk sampah terutama dari wilayah kota Purwokerto yang sebagian besar masuk TPA jadi menumpuk di tempat-tempat penampungan sementara sampah di sekitar pinggir jalan raya.
Dari ke 40 truk tersebut, hanya 7 yang bisa masuk ke tempat TPST. Memang, di Purwokerto sudah ada 7 TPST, namun per TPST baru mampu menampung 1 truk setiap hari. Alhasil, ada 33 truk sampah yang tidak terangkut. Bahkan truk-truk tersebut untuk sementara tidak beroperasi.
Meski telah melakukan rapat darurat sampah secara maraton, Pemkab nyatanya gagal meminta kepada masyarakat di Desa Kaliori agar mau membuka blokade TPA Kaliori. Tidak memiliki jalan keluar, pemkab akhirnya mengirimkan pesan WhatsApp (WA) kepada seluruh RT dan RW di daerah perkotaan, yang menyatakan adanya darurat sampah akibat penutupan TPA Kaliori dan menganjurkan agar setiap rumah tangga menerapkan pengelolaan sampah dengan 3R yaitu reduce, reuse dan recycle.
Perjalanan panjang darurat sampah di Banyumas yang bagi sebagian besar orang adalah musibah rupanya menjadi peluang bagi Arky Gilang Wahab.
Maggot si larva lalat, jagonya makan sampah organik
![]() |
Maggot BSF | Foto: Aliasi ZERO Waste Indonesia |
Berhadapan dengan konflik sampah di daerahnya, Arky yang adalah lulusan Teknik Geodesi ITB memutuskan untuk terlibat dengan urusan konflik sampah ini. Tentu saja dengan versinya sendiri.
Kala itu, ia berjibaku dengan sampah dengan cara mengolahnya menjadi pupuk kompos menggunakan metode composting. Namun, ia menilai bahwa cara ini tidak efisien secara waktu dan boros tempat.
Butuh lahan yang luas untuk proses pengomposan serta waktu yang lama, yakni sekitar 1-3 bulan untuk menjadi kompos. Itupun bila dilakukan dengan benar.
Tak ingin terpenjara dengan cara yang sama, tahun 2018 Arky mengambil langkah berbeda dengan memanfaatkan larva lalat atau yang dikenal dengan maggot.
Maggot adalah larva dari lalat tentara hitam / Black Soldier Fly (BSF) atau Hermetia illucens. Meski sepintas terlihat geli dan menjijikkan, nyatanya makhluk ini bisa menjadi salah satu solusi permasalahan sampah organik di Bumi lewat kemampuannya mengkonversi sampah organik.
Ya, maggot mampu memakan sampah organik sebanyak 5-10 kali berat tubuhnya. Sebut saja sisaan dapur seperti sayur, buah, ampas tahu, ampas kopi, kulit telur, sisaan tanaman, jerami, dedak jagung hingga tongkol jagung habis disantapnya.
Uniknya maggot, makhluk ini tak hanya bisa menghabiskan berTon-ton sampah organik, makhluk ini juga berbeda dengan lalat hijau yang biasa kita temui sebab larva BSF tidak memiliki mulut sehingga tidak menggigit juga tidak menyengat dan bukan merupakan vektor penyakit.
Hebatnya lagi makhluk ini dapat mengurai sampah organik dengan cepat. Misalnya, 10.000 ekor maggot BSF dapat mengkonversi limbah organik dalam waktu 24 jam. Ini tentu jauh lebih efisien bila dibandingkan dengan metode composting yang memerlukan waktu yang lebih lama dengan hasil yang belum tentu sempurna.
Hasil konversi limbah organik maggot yang berkelanjutan
Pupuk organik Kasgot foto miliki Magalarva Sayana Indonesia
Tahun 2018 itu, Arky bersama adik ipar dan seorang temannya mulai budidaya maggot di belakang rumah.
Sebagai pemula, kala itu mereka berhasil mengolah 10 Ton sampah organik. Angka yang cukup fantastis jika dibandingkan dengan membuangnya begitu saja di tong sampah lalu jadi tanggungjawab Pemkab yang nyatanya sempat mengalami jalan buntu pula dalam pengolahan sampahnya.
Hasilnya mungkin hanya terbilang 10 Ton sampah organik berhasil diolah, namun nyatanya, lebih dari itu, 10 Ton sampah organik tidak lagi mengganggu estetika di lingkungan. 10 Ton sampah tidak lagi menumpuk di lingkungan dan menimbulkan aroma tidak sedap di sekitar. 10 Ton sampah selamat dari produksi gas metana oleh mikroorganisme Metanogen. 10 Ton sampah tak perlu lagi masuk ke TPST atau TPA di Banyumas dan menimbulkan gunungan sampah. 10 Ton sampah terurai cepat tanpa membahayakan masyarakat setempat.
Bila dikonversi lebih jauh, di awal usahanya, sebetulnya Bang Arky dan timnya telah berhasil menyingkirkan potensi kerugian akibat 10 Ton sampah organik.
Kabar baiknya lagi, Maggot BSF yang dibudidayakan oleh Arky ternyata kaya akan protein dan nutrisi sehingga bisa dijadikan makanan ternak. Dilansir dari website Universitas Airlangga, maggot memiliki kandungan Protein mencapai 40-45% berat keringnya. Kandungan nutrisi lain dari makhluk ini adalah lemak 30-35%, Kalsium 4,8%-5,1% serta Mineral.
Dengan begitu, Maggot BSF hasil budidaya Arky, kaya akan protein dan nutrisi sehingga sangat layak untuk dijadikan sebagai makanan ternak. Makhluk ini juga bisa digunakan sebagai pupuk organik berkualitas tinggi karena dapat meningkatkan kesuburan tanah yang disebut pupuk kasgot.
![]() |
Ekonomi sirkular maggot | Diolah dengan Picart |
Bisa dibilang, selain dampaknya mengurangi sampah organik, maggot juga rupanya membuka peluang Rupiah yang cukup menggiurkan dari sisi ekonomi dan hasil pupuknya pun bisa meningkatkan kembali kesuburan tanah.
Sebuah penerapan ekonomi sirkular yang patut dicontoh sebagai solusi dari berbagai masalah sampah di Indonesia.
Peluang inilah yang kemudian dibaca oleh Arky kemudian melanjutkan produksinya dengan jumlah yang lebih besar.
Berkarya bersama
Bermula dari mengelola sampah organik dari 3 rumah saja, atas ketekunan Arky dan tim, akhirnya semakin banyak warga yang mau mengumpulkan sampah organik. Dalam kurun waktu sekitar 1 tahun saja, tepatnya 2019, Arky berhasil mengelola sampah organik dari satu desa yaitu Banjaranyar.
Peningkatan jumlah sampah organik yang berhasil diolah ini tak lain karena meningkat pula jumlah maggot yang dibudidayakan.
Tahun 2020, Arky dipercaya oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Banyumas untuk menyelesaikan permasalahan 5-6 Ton atau 3 truk sampah organik. Timnya juga bermitra dengan para pengelola TPST yang ada di Banyumas seperti TPST Sokaraja dan TPST Karangcegak, Sumbang serta TPA BLE.
Tahun itu juga, Arky berhasil mengelola 40 Ton sampah organik, namun tentu, seperti yang John F. Kennedy sampaikan
If you want to go fast, go alone; if you want to go far, go together
Jika ingin berjalan cepat, berjalanlah sendiri; jika ingin berjalan jauh, berjalanlah bersama-sama. Pepatah ini diterapkan dengan sangat baik oleh Arky.
Dalam perjalanannya berkarya menyelesaikan masalah sampah di Banyumas, ia tak hanya mengandalkan kemampuan dirinya sendiri, namun juga mengajak warga setempat dan para mitranya untuk bergerak bersama memberantas urusan sampah.
Untuk memperluas langkahnya, tahun 2021, Arky mendirikan Greenprosa, platform layanan pengelolaan sampah di Purwokerto dengan prinsip menyelesaikan tantangan sampah dengan teknologi ramah lingkungan yang berbasis pemberdayaan masyarakat dengan Arky yang mengemban tanggungjawab sebagai Chief Executive Officer langsung.
Greenprosa kemudian mengusung visi menciptakan ekonomi sirkular dan dunia yang lebih hijau dengan menyediakan layanan pengelolaan sampah yang bertanggungjawab dan berkelanjutan.
Dengan hadirnya Greeprosa, meski timnya hanya mengelola 40 Ton sampah organik, namun jika dihitung dengan sampah organik yang diolah oleh para mitranya, maka terdapat total 60 Ton jumlah sampah organik yang sudah diolah.
Di tahun yang sama pula, atas kerja kerasnya dalam menyelesaikan masalah sampah dengan sistem berkelanjutan, ia mendapatkan Apresiasi SATU Indonesia Award dari Astra sebagai penggerak program sistem konversi limbah organik untuk menciptakan ketahanan pangan bidang lingkungan.
SATU Indonesia Award sendiri adalah penghargaan tahunan yang diberikan oleh PT Astra International Tbk kepada anak muda Indonesia yang berkontribusi positif bagi masyarakat. Penghargaan ini diberi dalam lima bidang: yaitu kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan dan Teknologi.
Pasar maggot terbuka luas
Masih ada peluang bagi siapa saja yang ingin berkarya dengan maggot. Memanfaatkan larva lalat tentara hitam untuk memberantas sampah organik dan menekan potensi gunungan sampah di berbagai TPA dan TPST serta potensi munculnya kembali gas metana yang tak diundang termasuk ledakannya yang merugikan.
Menurut Arky, setiap bulan, Greeprosa baru mampu memproduksi 120 Ton dengan omset mencapai sekitar Rp 500jt per bulan. Padahal, kebutuhan maggot di pasaran mencapai sekitar 1.000 Ton setiap bulannya.
Dilansir dari CNBC Indonesia, Indonesia merupakan negara penghasil sampah sisa makanan terbesar kedua di dunia. Namun dengan potensi menggiurkan dari budidaya maggot, persis seperti Arky yang mengubah musibah jadi berkah, kitapun bisa memanfaatkan hal yang sama. Menggunakan maggot untuk menyelesaikan urusan sampah, mendapatkan Rupiah sembari memberi makan tumbuhan dengan menaikkan kembali kadar kesuburan tanah.
Dengan begitu, tak ada lagi masalah gunungan sampah, tak ada lagi ledakan gas metana kedua, tak ada lagi tanah yang tercemari dan bau busuk yang di sana sini.
Referensi tulisan:
https://greeneration.org/publication/green-info/tpa-leuwigajah-cikal-bakal-hpsn/?__im-icoHsGzV=17721016805251267169&__im-APfrLhMg=1642416155931745191&__im-okqjPjmf=17876684697728322340
https://journals.ecotas.org/index.php/ems/article/view/100#:~:text=Abstrak,kulit%2C%20pernapasan%20hingga%20demam%20berdarah.
https://m.kumparan.com/kumparannews/bom-waktu-itu-bernama-sampah-makanan-1sey9ZZUcFw/1
https://www.mongabay.co.id/2018/05/29/banyumas-darurat-sampah-ada-apa/amp/
https://unair.ac.id/potensi-maggot-sebagai-sumber-protein-alternative-pada-budidaya-ikan-gabus/#:~:text=Maggot%20memiliki%20kandungan%20protein%20mencapai,%2C1%25%2C%20dan%20mineral.
https://www.mongabay.co.id/2023/01/05/baru-4-tahun-pemuda-ini-mampu-olah-60-ton-sampah-organik-begini-kisahnya/amp/
0 Comments