![]() |
Perempuan dan kusta | Ilustrasi: Freepik |
Kusta dan kecantikan
Perempuan selalu identik dengan kecantikan dan keindahan. Namun, apa jadinya bila keindahan yang selama ini dirawat baik-baik direnggut paksa oleh kondisi tubuh yang tak bisa terelakkan? Kusta misalnya.
Hal inilah yang dialami Yuliati, seorang perempuan yang pernah mengalami kusta (OYPMK) sekaligus Ketua organisasi Permata di Sulawesi Selatan sana.
Satu bercak kecil di bagian jari kaki nyatanya sempat membuatnya kicep, undur diri dari kehidupan sosial, menarik diri dari hingar bingar serunya dunia kampus bahkan sempat terpikirkan untuk mengakhiri kehidupan.
Bagaimana tidak, setelah harus berhadapan dengan kusta yang dideritanya, ia pun harus menelan sakitnya ditinggal kekasih yang tak siap menerima kondisinya.
Ya, bercak kecil itu adalah kusta. Salah satu penyakit yang masih banyak berselimut stigma.
Sebenarnya, kusta tak semengerikan yang orang-orang kira. Penyakit yang juga disebut lepra ini memang penyakit infeksi kronis namun bisa disembuhkan. Ia memang menular namun tak hanya sepintas lewat begitu saja, penularan kusta bisa terjadi melalui kontak kulit yang lama dan erat dengan pengidapnya.
Bilapun sudah sempat terkena, pasien kusta bisa sembuh tanpa harus disertai kecacatan dengan catatan melakukan pengobatan secara cepat, tepat dan tuntas dalam kurun waktu 12-18 bulan.
Sayangnya, fakta ini belum semua yang mengetahui apalagi memahami, sehingga acap kali para pasien dan penyintas kusta mendapat perlakuan diskriminan dari masyarakat lingkungannya.
Baca juga: Pentingnya Pemerataan Edukasi Kusta untuk Penanganan yang Lebih Sempurna
Pentingnya penerimaan dan dukungan keluarga
Beruntungnya Yuli, ia tak menghadapi kusta sendiri.
Meski semula sempat diam-diam menyembunyikan penyakitnya dari semua kerabat, teman termasuk keluarga, keputusannya untuk melepaskan diri dari kampus dan pendidikannya membuat keluarga bertanya-tanya dan rahasianya akhirnya terkuak juga.
Kondisinya yang sudah terpojok penuh mau tak mau membuatnya harus angkat bicara. Dan kakak ipar akhirnya menjadi orang pertama yang mengetahui.
Gayung bersambut, alih-alih membatasi diri, Kakak ipar dan seluruh anggota keluarga memberikan dukungan penuh untuk kesembuhan Yuli. Sebaliknya, justeru ia sendiri yang menarik diri dari lingkungan sosial karena kekhawatiran akan penularan yang mungkin terjadi akibat kusta yang dialami.
Keputusannya untuk bercerita pada keluarga rupanya menjadi langkah pemulihan pertama yang paling tepat.
Tanpa mengulur waktu, kakak ipar membawanya berobat ke puskesmas terdekat. Kabar baiknya lagi, petugas puskesmas paham betul seputar kusta dan memberikan penjelasan yang membuat Yuli merasa tenang dan optimis untuk bangkit lalu pulih.
Repotnya kusta bagi seorang perempuan adalah bahwa ia tak lagi bisa bersolek sementara. Bahwa ia harus menahan diri untuk tidak menggunakan produk-produk kecantikan yang selama ini cocok untuk kulitnya karena kandungan produk make up dan skincare yang bisa saja justeru memperparah kondisi kustanya.
Kusta memang berbahaya, tak hanya bercak di badan, penyakit ini juga menyebabkan lepuh, ruam, kemerahan, sensasi sentuhan berkurang, kesemutan, kehilangan sensasi suhu, cedera saraf atau penurunan berat badan hingga kehilangan rasa.
Itu sebabnya, acap kali penderita kusta kehilangan jari jemari atau anggota tubuh dan menjadi disabilitas tanpa merasakan sakit akibat kusta yang diderita.
Baca juga: Edukasi Merata, Hingga Kita Bebas dari Stigma, Hingga Kita Bebas dari Kusta
Aktif memberikan edukasi seputar kusta
Setelah melalui satu tahun perjalanan pengobatan rutin, Yuli akhirnya dinyatakan sembuh.
Tak satu dua orang yang takut memulai komunikasi dengannya, namun ia memutuskan untuk menjadi pribadi dengan ego tinggi.
Mengetahui dirinya sudah pulih total, ia tetap terlibat di masyarakat, bersosialisasi dengan lingkungan. Bilapun ada satu dua masyarakat yang enggan berbincang dengannya, digubrisnya dan tetap menjalin komunikasi dengan orang lain yang siap dan mau menerimanya. Karena ia tau, ia tak lagi menularkan kusta dan sudah pulih total.
Langkah ego yang ditempuhnya rupanya menjadi salah satu pengantar yang membuat Yuli bergabung di organisasi PerMaTa SulSel dan aktif memberikan edukasi seputar kusta di lingkungannya.
PerMaTa SulSel sendiri merupakan cabang dari PerMaTa Nasional, yaitu sebuah organinsasi nirlaba dari dan untuk orang yang sedang dan pernah mengalami kusta di wilayah Sulawesi Selatan, Indonesia.
Adapun program-program organisasi ini meliputi stop stigma, pendampingan, pemberdayaan, hingga penguatan kebijakan.
Pesan Yuli untuk perempuan yang terkena kusta
Senang sekali rasanya mendengarkan langsung pemaparan Yuli dalam Talkshow Berita KBR yang dipersembahkan oleh NRL Indonesia yang mengangkat tajuk "Wanita dan Kusta"
Talkshow yang berlangsung pada 30 Agustus lalu ini bisa disimak di 100 radio jaringan KBR di seluruh Indonesia dari Aceh hingga Papua dan 104,2 MSTri FM Jakarta atau live streaming via website kbr.id dan YouTube Berita KBR dan Instagram kbr.id.
Menurutnya, langkah efektif agar pulih saat seseorang didiagnosa kusta adalah dengan mau terbuka dan bercerita pada keluarga, tidak menunda, lakukan pengecekan ke puskesmas terdekat dan rutin mengonsumsi obat.
Bila selama proses konsumsi obat ternyata mengalami reaksi, pasien agar segera konsultasi kembali dengan petugas.
"Tetap lanjutkan pengobatan, jangan sampai putus sehingga teman-teman bisa sembuh. Dan apabila teman-teman mengalami reaksi, segera lakukan konsultasi. Saya selalu bilang pada diri saya bahwa saya harus bisa lebih baik dari orang dan kita semua pasti bisa!" Pesannya menutup talkshow saat itu.