Eko Cahyono, Dari Jemuran Buku Hingga Hidup Mereka yang Kurang Beruntung Jadi Semanis Madu

0


Eko Cahyono | Foto: tugumalang.id 

 

Kisah Rara dan Dika memberantas buta huruf lewat film Imperfect (2019)

Membaca kisah tentang Eko Cahyono, membuatku teringat dengan sebuah film besutan anak bangsa berjudul Imperfect yang dirilis tahun 2019 yang lalu. Dalam film ini, Jessica Mila yang berperan sebagai Rara memegang tokoh cantik baik rupa maupun hatinya. 


Sayang, ukuran badannya tak sesuai dengan ekspektasi orang-orang di sekelilingnya. Sebagaimana judulnya, Imperfecet. 


Alih-alih, memberi apresiasi, orang menilainya dari fisiknya yang tak sempurna. Padahal, di luar sana, Rara berkelana ke pinggiran ibukota, berbagi hal-hal baik pada anak jalanan yang tak seberuntung anak orang kaya di sana. 


Di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, kumuh dan kotor,  dis sanalah Rara dan Dika, sang kekasih (Reza Rahadian) berjuang memberantas buta huruf di kalangan anak-anak yang kurang beruntung itu. 


Jelas terlihat gambaran bahagia di wajah kecil tak berdosa itu, tiap kali kedua "gurunya" datang di tengah-tengah mereka.  


Ia dan Dika tak hanya berbagi pendidikan, tapi juga keceriaan, kebahagiaan dan edukasi lewat beragam permainan. Sebuah cara yang menarik dan tepat untuk diaplikasikan saat mengajar pada anak-anak. 


Ada Rara dan Dika, ada pula Eko Cahyono dari Malang, Jawa Timur

Tapi tulisan ini bukan tentang Rara dan Dika. 


Jika di film Imperfect ada kisah cinta Rara, Dika dan anak-anak di pinggiran ibukota, maka di dunia nyata, ada pula Eko Cahyono dari Malang, Jawa TImur. Bedanya, ia bergerak sendiri. 


Ya, namanya Eko Cahyono, pemilik Perpustakaan Anak Bangsa di Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang yang didirikannya pada 1996 lampau, tepatnya saat ia masih duduk di bangku SMA. 


Berawal dari "jemuran buku" di halaman rumah bapak

Sebuah kilas balik kehidupan yang sulit untuk dicerna, bagaimana bisa seorang anak di usia beliau itu, mendirikan sebuah perpustakaan yang awet, terjaga, dan terawat hingga saat ini. 


Usut punya usut, kecintaannya pada buku dan membaca adalah langkah awal berdirinya Perpustakaan tersebut. Niatnya sangat sederhana, ia hanya ingin memiliki tempat yang nyaman di mana ia bisa menghabiskan waktu dengan buku sepuasnya. 


Bila kamu membayangkan Eko mulai membangun singgasananya berupa perpustakaan utuh, penuh berbagai pilihan buku, maka kamu salah. 


Perjalanan perpustakaan itu terbilang lucu. Bermula di halaman rumah sang ayah, ia menyusun buku-buku tersebut di tali rafia lalu digantung layaknya jemuran. 


Meski terlihat aneh, ternyata ide unik ini justeru berhasil menggelitik hati para tetangga yang mengira Eko sedang berjualan majalah. Namun, dari sanalah titik balik keberhasilannya mencuri niat baca para tetangga, dengan memberikan majalah yang "dijemur"nya itu secara gratis untuk dipinjam dan dibaca oleh para warga. 


Beruntungnya ia saat gayung bersambut, buku-buku itu dan catatan gratis untuk dibaca dan dipinjam yang disuarakan oleh Eko nyatanya berhasil menjadi magnet yang menarik para tetangga dengan sendirinya. 


Perjalanan berburu buku

Apa yang ada dalam imajinasimu saat berbicara tentang perpustakaan?


Tentu susunan rapi deretan buku-buku di dalam jajaran lemari, bukan?


Tapi bila itu yang kamu bayangkan, maka bayangan itu sepenuhnya salah. 


Tahun 1996, saat perpustakaan mulai berdiri dengan caranya sendiri, Eko bahkan tak punya buku. Koleksi buku pertama yang ia miliki hanya majalah seharga Rp1.000 untuk 4 majalah. Kadang, majalah seharga Rp2.000 bisa mendapat 11 majalah, termasuk koran-koran bekas yang harganya berkisar Rp50 per kolo. 


Tak heran, kala itu ia hanya seorang anak SMA yang pemahamannya tentang buku masih perlu diulik lebih mendalam. 


Beruntungnya, seiring berjalannya waktu, Eko lulus SMA dan mulai mengenali berbagai jenis buku. Pengenalan ini membawanya ke berbagai toko buku dan mulai mengenal penerbit-penerbit. 


Seminggu sekali, ia membuat jadwal bagi dirinya datang ke Gramedia. Bukan untuk membeli buku tentu saja. Lagi-lagi, ia hanya seorang anak remaja muda yang mencari kenyamanan untuk menjalankan hobbynya, membaca. Di sana, ia hanya datang untuk baca-baca.


Maka dari sanalah perjalanannya "menimbun" buku dimulai. 


Entah logika darimana, tapi saat itu Eko memantau setiap orang yang keluar dari toko buku terbesar di Indonesia itu. Dalam pikiarnnya, tentulah orang-orang ini memiliki banyak sekali di rumahnya, lalu iseng berkunjung ke rumah orang tersebut untuk meminta buku, dan ternyata niat mulianya sampai pada para hati yang tak kalah mulia. Ia mendaptakan buku-buku yang dimimpikannya itu. 


Sejak itu, perjalanan berburu buku untuk perpustakaannya semakin menyenangkan. Seperti sales yang berkunjung door to door untuk menawarkan produk, Eko datang untuk mengumpulkan buku. Ia menerima semua jenis buku, ada buku pelajaran, ada novel, ada buku anak, dongeng, sastra, hingga skripsipun "diembat"nya. 


Buku-buku yang diterimanya kemudian diseleksi kembali dan diklasifikasikan, buku mana yang cocok untuk anak atau tidak. 


Minat baca tak kurang, asal ada bukunya


Meski semula terdengar egois, hanya ingin membangun sebuah "rumah" nyaman baginya untuk membaca, nyatanya tujuan itu perlahan-lahan mulai berubah seiring berjalannya waktu. 


Niat Eko akan kehadiran perpustakaan ini tak lagi sama dengan Eko remaja. Di usia dewasanya, pria asal Jabung ini berharap, kehadiran perpustakaan yang didirikan dapat meningkatkan literasi anak-anak di pinggiran Malang. 


Keseriusannya dalam mendirikan perpustakaan rupanya membawanya sampai pada sebuah titik terang, bahwa minat baca anak sebenarnya tak kurang, asal ada bukunya. 


Betul, sebelum perpustakaan berdiri, minat baca di lingkungan tersebut memang rendah karena tidak ada bukunya, namun ketika perpustakaan mulai berdiri, anak-anak banyak yang suka dan menghabiskan waktu dengan membaca. 


Dari "jemuran buku" di masa lalu untuk masa depan rasa madu


Siapa sangka Eko yang melangkah dari jemuran buku itu nyatanya berhasil mengubah banyak kehidupan lewat buku-buku yang dikumpulkannya. Siapa sangka jemuran bukunya di masa lalu, berhasil mengubah banyak hidup di kemudian hari terasa seperti madu. 


Bukan hal yang mudah bertahan membangun perpustakaan, nyatanya Eko memutuskan untuk tetap bertahan karena ia melihat sendiri proses dari anak-anak kampung yang awalnya tidak suka membaca, kemudian mau membaca dan terjadi peningkaan pendidikan lalu meningkatkan ekonomi keluarga.


Pernah pula ada anak remaja putus sekolah, tapi berkat membaca buku cara beternal lele, bagaimana cara buat kolam lele, anak tersebut berhasil mewujudkannya. Ada juga ibu-ibu yang di PHK di pabrik, lalu baca buku masakan kemudian membuka warung. Dari sana, sang ibu berhasil memperbaiki perekonomian keluarganya. 


Ada lagi ratusan anak yang awalnya hanya lulusan SD, kemudian sering membaca buku dan ingin sekolah lagi. Anak-anak itu kemudian kejar paket B-C lalu kuliah dan berhasil jadi guru. 


Perubahan-perubahan hidup yang terjadi tepat di depan matanya lewat buku-buku ini membawa Eko pada sebuah kesimpulan bahwa buku bisa mengubah nasib seseorang selama ia mau berusaha. 


Apa jadinya anak remaja yang putus sekolah itu bila tak ada perpustakaan yang dirintisnya sejak usia belia? Apa jadinya ibu-ibu yang di PHK bila tanpa buku yang dihadirkannya sejak SMA? 


Tak ada lagi anak yang hilang arah karena tak memiliki ijazah, tak ada lagi ibu yang menganggur karena kehilangan pekerjaan. 


Buku-buku itu nyatanya membuka jalan menuju sejuta perbaikan kehidupan. 


Tanpa disadari, perjalanan panjang menimbun buku dan menghadirkan singgasananya nyatanya bisa membawa dampak baik bagi berbagai pihak. Dari warga sekitar hingga orang-orang di berbagai daerah yang ingin berbagi kebaikan lewat buku-buku. 


Untung terus mengikuti perjuangan Eko, bantuan terus berdatangan baik berupa rak buku, sampil buku, peralatan tulis-menulis, hingga ribuan eksemplar buku. 


Hingga kini, Perpustakaan Anak Bangsa sudah memiliki ribuan anggota, 26 perpustakaan yang tersebar di 35 desa di 7 kecamatan sekabupaten Malang, antara lain Poncokusumo, Tumpang, Wates dan Kepanjen. 


Cakupannya lebih luas dengan menggelar perpustakaan keliling di pos ojek, salon, bengkel motor hingga rental komputer. 


Referensi tulisan:

https://tugumalang.id/kisah-eko-cahyono-pendiri-perpustakaan-anak-bangsa-di-jabung/

https://www.beritasatu.com/pendidikan/255084/astra-beri-bantuan-buku-ke-perpustakaan-anak-bangsa

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)