Dua Sisi Digitalisasi untuk Manusia dan Bumi

0
Sekarang, menenam pohon di hutan, tak harus ke hutan | Foto: Dokpri

Makin digemari, digitalisasi beri peluang dapat cuan bagi muda mudi

Awal tahun ini, Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani, bercerita pengalamannya saat berkunjung ke kantor Bloomberg. 


Dalam ceritanya, Mulyani berkisah bagaimana herannya Michael Bloomberg melihat anak-anak muda atau milenial dan Gen Z lebih suka bekerja dari rumah atau work from home (WFH) ketimbang pergi ke kantor (Sumber: CNN Indonesia).


Memang, saat pandemi Covid-19 3 tahun lalu melanda, kebiasaan masyarakat ikut berubah. Masyakarat jadi lebih terbiasa melakukan segala aktivitas dari rumah, mulai dari olahraga, belanja, sampai bekerja semua berpindah dikerjakan dari rumah. 


Meski status pandemi kini sudah menjadi endemi, nyatanya bekerja dari rumah tetap masih jadi primadona sejumlah anak muda.

Kalau ditanya kenapa, sebetulnya banyak sekali alasannya. Mulai dari pengeluaran yang tak terlalu banyak, waktu bekerja yang fleksibel, tak lagi merasakan macet di jalan yang dapat mengurangi performa bekerja di kantor, lingkungan bekerja yang terasa lebih nyaman, tingkat stres berkurang dan memiliki banyak waktu bersama keluarga. 


Belum lagi, digitalisasi beri peluang dapat cuan bagi muda mudi. Ya lintas usia sih. Peluangnya sama bagi mereka yang tak berhenti berkreasi. 


Fuji an misalnya, untuk satu konten story endosment saja, pemilik brand harus merogoh kocek sebesar Rp7,5 - Rp8jt. Namun pemilik brand mengaku feedback yang mereka dapatkan setara dengan biaya yang mereka keluarkan karena pengaruh postingan Fuji yang tepat sasaran. Ngga heran kalau penghasilan Fuji bisa mencapai ratusan juta per bulan. 


Itu baru dari endorsment, belum penghasilan dari Adsense channel YouTubenya. Ya wajar kalau makin banyak anak muda yang mengikuti jejak ini. 


Kenapa harus macet-macetan di jalanan untuk mengumpulkan pundi-pundi Rupiah yang bisa dikumpulkan dari rumah? 


Dua sisi digitalisasi untuk manusia dan bumi

Serunya WFH dan dampaknya bagi kesehatan Bumi | Foto: Freepik

Belakangan ini, dunia digitalisasi kian diminati. Pasalnya, ya itu tadi, potensi menghasilkan cuan yang terbuka lebar bagi siapa saja yang tak berhenti berkreasi. Tentu kreasi positif, ya. 


Selain menerima endorsment dan memanfaatkan peluang Adsense YouTube, banyak peluang lain yang dapat dilakukan yang ngga kalah menggiurkan. 


Sebut saja Blogger, Vlogger, Online Course bagi yang memiliki keahlian khusus, Kreator Konten termasuk itu design grafis sampai voice over, digital marketing hingga menjadi seorang pebisnis sesuai bidang yang disukai. 


Sejak pandemi, ada beberapa teman yang perlahan berubah jadi pemilik usaha kuliner, ada yang bergerak di bidang fashion. Diam-diam memanfaatkan teknologi dan digitalisasi sampai akhirnya bisa berada di keberhasilan mereka di titik ini. 


Ya, digitalisasi yang dimanfaatkan dengan optimal, mampu mengubah kehidupan seseorang dari sisi finansial. 


Seperti dua sisi mata pedang, selain memberi peluang menghasilkan cuan, digitalisasi juga memberi sumbangsih cukup besar akan kerusakan planet Bumi yang kita tinggali. 


Kok bisa?


Email dan energi yang dikonsumsi


Penggunaan email untuk berkirim pesan penting secara formal kian digemari. Namun, coba cek, ada berapa ribu pesan masuk di email kamu? Kapan terakhir kali kamu menghapus email yang tak penting? 

Tahukah kamu, semua email yang tersimpan dalam sebuah server, dapat mengonsumsi energi dalam jumlah besar karena berjalan 24 jam non stop. Padahal, satu emailnya saja memiliki ukuran rata-rata 230kB atau setara dengan 7,4Wh per tahun


Itu baru dari satu email. Kebayang berapa banyak energi listrik yang kita konsumsi hanya dari email yang tak penting lagi? 


Suka buka tab browser banyak-banyak dan malas nutup kembali


Hayooo, siapa yang suka buka tab browser banyak-banyak tapi males nutupin lagi? 

Temen-temen tahu ngga sih, tab tab browser yang kita biarkan terbuka itu, tetap mengonsumsi energi lho meskipun ngga digunakan lagi. 


Sampah digital


Selain email yang tak lagi berguna, foto, video dan riwayat penelusuran internet yang tersimpan di data center juga membutuhkan hingga 2% emisi global dan diperkirakan nilainya akan terus naik. 


Meeting online


Sudah familiar dengan meeting online dong? Nama ini terus kita sebut semenjak pandemi Covid-19 melanda dan masih terus dimanfaatkan terutama bagi mereka yang kerja WFH dan hybrid

Tahukah kamu, melangsungkan meeting online 15 jam dalam seminggu dengan kamera menyala, akan menghasilkan 9,4Kg Co2 lho. Sedangkan bila meeting berlangsung tanpa kamera, emisi dapat berkurang hingga 400Gr. Lumayan banget kan?


Terlalu banyak menghabiskan waktu di media sosial


Benar bahwa media sosial memberi banyak hiburan. Media sosial menjadi ruang pertemuan antar teman yang lama tak saling bertatapan, media sosial menyediakan sejumlah informasi dari yang penting banget sampai yang ngga penting banget atau sekedar media mencari konten lucu yang bikin ngakak saat kepala penat dengan keseharian yang berat. 

Tapi, lagi-lagi, tahukah kamu? Setiap detik yang kita habiskan di media sosial ternyata meninggalkan jejak karbon dioksida, lho!


Kalau bisa dapat dua, kenapa satu saja? 


Memang, semakin kita pintar dan kreatif mencari celah untuk mendapatkan penghasilan lewat internet, semakin tinggi juga kontribusi kita melepaskan jejak karbon ke lapisan ozon. 


Ini baru dari urusan digitalisasi, gimana lagi dari sisi makanan atau dari fashion yang kita minati? Belum lagi transportasi. Kalau dilist, ada banyak kejahatan yang kita lakukan untuk Bumi tempat kita tinggal ini. 


Tapi, ayo kita coba fokus dari sisi digital ini. 


Kalau kita bisa dapat dua, kenapa memutuskan satu saja? Kalau finansial terjaga dengan memanfaatkan dunia digital, kenapa tak sekalian kita jaga agar Bumi tetap sehat dan suhunya tetap normal?


Lalu, apa yang dapat kita lakukan?


Mulai menghapus email yang tak lagi dibutuhkan

Seleksi email untuk mengurangi penggunaan energi | Foto: Rawpixels via Freepik

Berkaca dari permasalahan di atas, tentu langkah pertama yang paling mudah yang dapat kita lakukan adalah mengecek kembali email-email yang tak lagi kita butuhkan, lalu pelan-pelan menghapusnya satu per satu. 


Jika kamu rutin menghapus 30 email saja per hari, berarti kamu sudah berhasil menghemat energi sebesar 222Wh, lho. Bukan cuma itu, emailmu juga tentu akan terlihat lebih rapi karena yang tertinggal di sana hanya yang penting-penting saja. Alias, ngga banyak sampahnya. Hihii. 


Kiat mudah menghapus email dengan cara cepat:


Kamu bisa pilih salah satu akun yang menurutmu semua isinya sudah tak kamu perlukan lagi, misalnya akun e-commerce yang umumnya hanya berisi notifikasi promo atau informasi update belanjaan kamu. 


Klik simbol - di dalam kotak persegi di sisi kiri atas. Secara otomatis, seluruh email dari e-commerce di satu layar akan tercentang. Tinggal klik logo "Hapus" sekali, maka kamu telah berhasil menghapus minimal 50-70 email. Mudah kan?


Bila ingin lebih gampang, kamu bisa unsubscribe newslatter yang menurutmu tak terlalu kamu butuhkan lagi sehingga kamu ngga perlu terima pemberitahuan rutin dari newslatter terkait. 


Bookmark website yang kerap dikunjungi

Bookmark website yang sering dikunjungi | Foto: Dokpri

Alih-alih membuka tab browser sebanyak-banyaknya, kamu bisa mulai pilih atau list website yang paling sering kamu kunjungi, lalu bookmark website tersebut. 


Selain mempermudah kamu mengakses kembali, langkah ini juga dapat mengurangi emisi karbon, lho!


Hapus sampah digital

Hapus sampah digital untuk kurangi emisi global | Foto: Freepik

Cek kembali galeri di ponselmu, apakah ada foto dan video lama yang masih kamu simpan tapi tak lagi dibutuhkan? 


Kamu sudah bisa lho mulai menghapusnya satu per satu. Sama sepeti memori manusia, hal-hal yang sudah lewat dan tak lagi berguna, bila terus digenggam akan bikin kita stress. Satu-satunya cara untuk bernafas lega adalah melepaskannya. 


Begitupun dengan ponsel, agar memorinya lebih plong dan sistem bisa digunakan dengan lancar, maka sang pemiliklah yang bertanggungjawab untuk membersihkannya.

 

Dengan bersih-bersih sampah digital, kita juga telah berkontribusi mengurangi emisi global.


Matikan video saat meeting online

Matikan kamera saat meeting online untuk mengurangi emisi | Foto: Tirachardz via Freepik

Tak bisa dipungkiri, meeting online memegang peranan penting untuk keberlangsungan bisnis kala ini. 


Namun, dampaknya yang menghasilkan 9,4Kg Co2 mungkin bisa kita siasati dengan mematikan video secara berkala ketika giliran orang lain yang memaparkan materi. Tapiii, pastikan langkah ini juga sudah dapat izin dari tim yang terlibat di meeting yaa. Hihihi. 


Dengan mematikan video saat meeting online berlangsung, kita telah berkontribusi mengurangi emisi hingga 400Gr banyaknya. Lumayannnn kalau dilakukan bareng-barengan


Kembali ke alam atau bermain dengan teman


Bermain dengan teman bisa kurangi kegiatan scroll media sosial | Foto: Freepik

Alih-alih menghabiskan waktu dengan scroll media sosial, mungkin sudah waktunya kamu kembali ke alam. 

Media sosial bukan satu-satunya cara untuk bahagia, bukan juga satu-satunya cara untuk tertawa. Meski menyenangkan, media sosial juga sesekali perlu ditinggalkan agar kamu tak melulu mageran dan diam di tempat yang sama seharian. 


Bila tak bisa bermain ke alam, mungkin opsi berkunjung ke rumah teman bisa jadi pertimbangan. 


Kamu bisa bersilaturahmi, bertukar kabar, menertawakan kenangan masa lampau, atau sekedar gitaran di halaman belakang. 


Selain mempererat pertemanan, mengurangi 50% jam penggunaan media sosial setiap hari, berarti sudah berkontribusi mengurangi jejak karbon digital lumayan banyak.


Menanam pohon

Terlibat langsung dalam penanaman pohon | Foto: Dokpri

Setelah mendapatkan penghasilan yang cukup banyak lewat pemanfaatan dunia digital, ngga ada salahnya lho berdonasi atau terlibat dalam kampanye penanaman pohon.


Bagaimanapun, semakin namamu dikenali dengan dampak positif di dunia maya, semakin tinggi pula potensi kampanye diikuti lebih ramai oleh pengikutmu. 


Katakan saja pengikutmu 1jt, yang terlibat ada seperempatnya saja, wahhh, sudah ada 250.000 pohon yang siap ditanam. 


Untuk mengisi 1 Hektare saja, hanya butuh 390 pohon Meranti. Kalau ada 250.000 orang pengikutmu yang terlibat, wahhh, kita sudah bisa tanam ratusan Hektare hutan gundul di Indonesia! Tergantung jenis tanaman dan jarak tanamnya.  


Kalau begini, keren banget tuh kontribusi kamu lewat sosial media. 


Menanam pohon di hutan tanpa ke hutan

Salah satu tantangan di Time Up For Impact yang sedang kuikuti | Foto: Tangkap layar TUFI 

Ha, nanam pohon di hutan tanpa ke hutan? Gimana tuh caranya?


Buat kamu yang terus terlibat di urusan digital, memiliki kesibukan yang tinggi dan ngga ada waktu untuk ngurusin penanaman pohon, kamu tetap masih bisa berkontribusi, lho. 


Time Up For Impact adalah sebuah portal yang dibangun dengan mengusung misi mengajak siapapun untuk melakukan hal-hal sederhana untuk bumi. Kapan saja, di mana saja, sejauh yang kita bisa. Sangat mudah. 


Caranya dengan akses https://teamupforimpact.org/. Di sana, tersedia sejumlah tantangan yang dapat kamu ikuti setiap hari dari sampah, makanan, digital energi, bisnis hijau hingga aktivisme. Di masing-masing bagian ini juga terdapat pilihan yang mempermudah penerapannya. 


Pilih saja tantangan yang menurutmu dapat kamu terapkan secara konsisten. 


Semakin banyak tantangan yang kamu ikuti, maka semakin banyak juga poin yang berhasil kamu kumpulkan. 


Pohonku yang sebentar lagi siap ditanam di hutan Indonesia | Foto: Tangkap layar TUFI

Kabar baiknya, per 1.400 poin yang berhasil kamu kumpulkan, maka akan ada 1 pohon yang ditanam atas namamu di hutan. 


Menarik ya, bisa kurangi selimut polusi dengan berkontribusi dari rumah doang. Aku dan teman-teman Eco Blogger Squad sudah ikutan. Pastikan kamu terlibat dalam gerakan ini, ya!

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)