![]() |
Ilustrasi simulasi bencana bagi disabilitas | Foto: ANTARA News |
Baru-baru ini, negeri kita kembali dilanda bencana. Pusat gempa terjadi di Cianjur, Jawa Barat, yang memakan ratusan korban jiwa.
Tak ada yang menginginkan bencana hadir di tengah-tengah kita, namun faktanya, ia tetap datang tanpa aba-aba. Kedatangan bencana yang muncul secara tiba-tiba, membuat manusia kalap, panik dan tidak punya persiapan untuk menghadapinya.
Bila warga dalam kondisi normal saja berpotensi jadi korban, lalu bagaimana pula disabilitas dan OYPMK mencoba menyelamatkan dirinya dalam keterbatasan?
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia menyebutkan, sejak awal tahun sampai awal November 2022, sudah ada sekitar 3.000 peristiwa bencana alam di Indonesia yang disebabkan cuaca, alam, banjir, cuaca ekstrim, tanah longsor hingga bencana akibat tektonik dengan total meninggal sekitar 549 orang.
Bila sosialisasi mitigasi bencana tak dilakukan secara merata, baik pada disabilitas dan OYPMK serta pada non disabilitas, maka kemungkinan bertambahnya korban jiwa dan disabilitas saat bencana datang akan terus meningkat.
Di Klaten misalnya, 156 orang menjadi disabilitas baru akibat gempa yang terjadi pada tahun 2006 lalu.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, KBR Indonesia bekerjasama dengan NLR Indonesia kembali membuka ruang publik yang mengangkat tema "Penanggulangan Bencana Inklusif Bagi OYPMK dan Penyandang Disabilitas."
Dalam kesempatan tersebut, turut hadir pula Bejo Riyanto selaku ketua konsorsium peduli disabilitas dan kusta (PELITA) sekaligus seorang disabilitas terdampak bencana serta DRS. Pangarso Suryotomo selaku Direktur Direktorat Kesiapsiagaan BNPB atau yang kerap dipanggil Mas Papang.
Acara ini dapat disimak di 105 radio jaringan KBR seluruh Indonesia dari Aceh hingga Papua, sedangkan bagi yang berada di Jakarta, dapat mendengarkan di 104.2 FM, live streaming via website KBR.ID atau di channel YouTube Berita KBR bagi yang ketinggalan live.
Indonesia masuk 10 besar negara terbanyak korban meninggal akibat bencana
Bicara soal bencana, erat kaitannya dengan korban. Entah itu korban materi hingga korban jiwa. Namun yang jadi pertanyaan sekaligus menjadi pekerjaan rumah bersama, bagaimana agar korban jiwa saat menghadapi bencana bisa ditekan seminimal mungkin.
"Bencananya boleh banyak, namun pastinya kita harus, bagaimana berupaya untuk korbannya tidak begitu banyak yang meninggal" Tutur Papang dalam Ruang Publik KBR.
Hal senada disampaikan Bejo. Berasal dari Bantul yang tahun 2006 lampau mengalami bencana dahsyat hingga menelan korban jiwa sebanyak 5.846 orang (d3v.kemkes.go.id).
"Terkait dengan pengetahuan tentang kebencanaan atau persiapan bencana itu, sebagai seorang disabilitas mungkin ya, mungkin secara umum sebagai masyarakat, tidak tahu, Pak. Yang penting menyelamatkan diri." Ujar Bejo sembari terkekeh mengenang peristiwa tersebut.
Masih oleh Bejo, ketidakpahaman tersebut membuat warga lari ngawur, sembarangan.
Kembali mengenang tsunami di Aceh, minimnya pengetahuan tentang prosedur menyelamatkan diri saat menghadapi bencana, membuat Bejo mengaku tidak akan bisa berbuat apa-apa bila saat itu berada di sana.
Untuk itu, memang perlu memberikan edukasi dan sosialisasi terkait upaya mitigasi bencana untuk difabel dan OYPMK, serta non difabel
Edukasi upaya mitigasi bencana
Berangkat dari kejadian tsunami di Aceh timbullah salah satu upaya mitigasi sekedarnya oleh Bejo, yakni tak mengunci pintu rumah sejak tahun 2004 hingga tahun 2006. Upaya ini dilakukan agar memudahkan proses evakuasi diri bila bencana tiba-tiba datang.
Padahal, di sisi berbeda, tidak mengunci pintu menjadi salah satu peluang terjadinya kejahatan lain yang mungkin akan dialami difabel.
Lalu, bagaimana upaya mitigasi bencana bagi warga dan disabilitas?
Berikut adalah pemaparan Papang
1. Ketahui risiko bencana yang ada di Indonesia
Indonesia terdiri dari ribuan desa. Sebanyak 80% wilayah Indonesia rawan bencana. Kenali risiko bencana yang mungkin terjadi di area masing-masing dan selalu siap dengan kedatangannya yang tiba-tiba.
Bejo juga menyampaikan agar BNPB dan seluruh pihak terkait terus mengingatkan kembali betapa rawannya area yang ditinggali warga bila area tersebut rawan bencana.
Dengan reminder yang gesit dilakukan, harapannya, warga memiliki persiapan matang apa saja yang harus disiapkan dan bagaimana upaya menyelamatkan diri saat bencana datang.
2. Memberi 3 mandat untuk disabilitas saat bencana
Menurut Papang, upaya penanganan bencana dari BNPB tidak ada perbedaan antara non disabilitas dan disabilitas. Namun sejak tahun 2014, berdasarkan hasil diskusi yang melibatkan kelompok disabilitas, maka keluarlah Peraturan Perbada No 14 tahun 2014 yang memberikan 3 mandat pada kelompok masyarakat disabilitas, yaitu pertolongan, partisipasi dan perlindungan.
Disabilitas dilibatkan untuk mengantisipasi penambahan disabilitas akibat bencana dan tidak dianggap hanya sebagai objek semata.
3. Mengakses informasi pengurangan risiko bencana di komunitas dan relawan
Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengakses informasi seputar edukasi mitigasi bencana dalam rangka pengurangan risiko bencana di komunitas, organisasi dan relawan.
4. Memberikan edukasi kepada desa tanggap bencana
"Dari 2011 itu, ada namanya Desa Tanggap Bencana. Siapa yang terlibat dalam Desa Tanggap Bencana? Ya teman-teman desa itu sendiri. Dibentuklah relawan desa, ada forum pengurangan risiko bencana tingkat desa." Ungkap Papang.
Kelompok-kelompok inilah yang diedukasi untuk meningkatkan kapasitas mitigasi bencana kemudian menjadi perpanjangan tangan BNPB Pemerintah Provinsi, termasuk lembaga usaha ke warga di lokasi rawan bencana.
5. Mengadakan SPAB di sekolah-sekolah
Lewat kerjasama yang dijalin dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), BNPB juga menghadirkan SPAB atau Sekolah Pendidikan Aman Bencana yang sudah disampaikan di berbagai sekolah.
Sayangnya, edukasi ini kerap kecolongan. "Karena selalu menyampaikan semoga tidak terjadi, semoga tidak terjadi. Sedangkan bencana itu pasti terjadi." Imbuh Papang.
6. Memantau tingkat bahaya di suatu wilayah dengan menginstal aplikasi InaRISK Personal
Selain rangkaian di atas, warga juga diimbau untuk turut menginstal aplikasi InaRISK Personal yang dihadirkan oleh BNPB dengan dukungan dari ESDM, Kementerian PU-Peram dan BMKG serta lembaga lain.
Aplikasi InaRISK merupakan aplikasi yang berisikan informasi tingkat bahaya suatu wilayah dan dilengkapi dengan rekomendasi aksi untuk melakukan antisipasinya secara partisipatif.
Aplikasi ini terus dikembangkan dan berevolusi untuk memenuhi kebutuhan pembaharuan data, informasi dan metedologi yang dapat memberikan manfaat kepada masyarakat.
Harapannya, kehadiran aplikasi ini dapat mewujudkan bangsa Indonesia menjadi tangguh menghadapi bencana.
Wah sekarang sudah ada aplikasi InaRISK Personal untuk mengetahui bahaya satu tempat. Apakah aplikasinya benar-benar update setiap waktu. Semoga warga yang tinggal di area bencana dpt gunakan aplikasi ini.
ReplyDeleteTanggap bencana diperlukan ya sebagai antisipasi untuk siapa saja. Apalagi dengan kehadiran Inarisk nih yang bisa membantu mengingatkan akan risiko bencana di suatu tempat
ReplyDeleteAku jadi mau install aplikasi INArisk nya. Tampak perlu buat jaga-jaga. Mesti belajar mitigasi bencana sih kita semua ya. Tinggal di negeri rawan bencana
ReplyDeleteSetuju banget kak, edukasi terhadap bencana ini penting sekali. Di sekolah juga seharusnya lebih intens lagi untuk disampaikan ke anak-anak biar mereka bisa menyelamatkan diri ketik bencana terjadi.
ReplyDeletePerlu banget aplikasi InaRISK diinstall semua orang agar peroleh infomasi mengenai kebencanaan.
ReplyDeleteMantap banget ada aplikasi untuk memantau tingkat wilayah suatu daerah. Aku mau install juga ah.
ReplyDeleteYa Allah 3000 bencana? Banyak banget ya :(
ReplyDeleteAku jujur ga pernah kepikiran soal mitigasi bencana buat difabel tapi setelah baca postingan ini iya juga ya mereka butuh informasi dan stimulasi lebih dibandingkan non difabel.
Ya Allah... Banyak banget ya bencana nya 😞 tp aku jg ga kepikiran sih ada yg khusus buat difabel kayak gini.. Kayaknya bakalan coba install aplikasinya deh
ReplyDelete