![]() |
Ilustrasi keadilan iklim | Foto: Jcomp via Freepik |
Tahukah kamu bahwa dari tahun ke tahun, jumlah petani Indonesia terus berkurang?
Coba saja googling kata kunci "Jumlah petani Indonesia", kamu akan menemukan sejumlah data yang menunjukkan kekhawatiran pemerintah terkait krisis petani muda di negeri ini.
Dilansir dari agrisustineri.org, jumlah petani muda di Indonesia cukup mengkhawatirkan.
Tahun 2019, tercatat hanya sekitar 33,4 juta saja. Dari jumlah tersebutpun, kalangan muda dengan rentang usia 20 hingga 30 tahunan hanya sekitar 2,7 juta. Sedangkan 30jtan sisanya, ada di rentang usia 40-60 tahun.
Padahal, masih dari sumber yang sama, nilai ideal petani muda di negeri ini semestinya 50% dari total petani yang ada di Indonesia.
Ngga heran kalau jumlah petani di Indonesia terus berkurang, sebab mata pencaharian ini masih terus dianggap sebagai pekerjaan berat yang berkaitan dengan lumpur dan kotor, padahal, hasilnya sendiri tidaklah terlalu menjanjikan.
Akibat hasil yang tak begitu menjanjikan, ya kesejahteraan petani hingga kini masih terus dipertanyakan. Wajar saja bila anak-anak muda berpikir ulang untuk terjun di dunia pertanian.
Belum lagi, lahan pertanian semakin sedikit. Bisa ditebak, hasilnyapun makin merosot baik karena berkurangnya lahan, pun karena dampak iklim yang kian terasa.
Perubahan iklim dan dampaknya bagi negara hingga lintas generasi
Perubahan iklim sendiri merupakan perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca yang terjadi secara alami, namun sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi penyebab utama perubahan iklim, terutama akibat pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak dan gas yang digunakan dalam aktivitas sehari-hari mulai dari kebutuhan rumah tangga, industri, juga transportasi. Perubahan iklim juga bisa disebabkan pembukaan lahan dan hutan.
Nantinya, pembakaran bahan bakar fosil ini akan terakumulasi dan menyelimuti bumi sehingga menghasilkan panas yang menyebabkan kenaikan suhu bumi.
Akibat kenaikan suhu bumi yang terjadi terus menerus sejak tahun 1800-an tersebut, terjadilah kekeringan hebat, kelangkaan air, kebakaran, naiknya permukaan air laut, banjir di berbagai tempat, es kutub terus mencair, badai hingga penurunan keanekaragaman hayati.
Dampak-dampak ini sudah kita rasakan tahun-tahun belakangan. Cuaca yang tak menentu, hujan dan panas yang datang tak lagi beraturan, banjir di berbagai daerah, hingga sejumlah keanekaragaman hayati yang kini tak lagi kita temukan.
Bukan hanya kita yang merasakannya, tak ketinggalan, kelompok masyarakat rentan seperti petani, masyarakat adat dan nelayan turut pula merasakan hal yang sama dengan dampak yang lebih parah.
Akibatnya ya itu tadi, lahan pertanian dan jumlah petanipun terus berkurang. Bila ini terus terjadi, bisa-bisa Indonesia mengalami krisis pangan. Itu baru dari petani belum dari nelayan!. Lebih jauh lagi, dampak yang lebih parah bisa dirasakan generasi yang hidup di tahun 2050 karena harus hidup berhadapan dengan kenaikan air laut dan berpotensi terancam krisis pangan.
Agar hal ini tak terus berlanjut, perlu dilakukan climate justice atau keadilan iklim.
Mengenal climate justice atau keadilan iklim
Penting diketahui, ketidakadilan iklim yang kini dirasakan kelompok rentan bisa terbentuk karena ketimpangan kuasa dan privillage bagi kalangan industri ekstraktif, sedangkan dampaknya seperti penggusuran, pencemaran udara hingga kerusakan lingkungan ditanggung oleh kelompok rentan. Itu kenapa, dalam setiap pengambilan keputusan memang harus dilandaskan dengan keadilan iklim.
Climate justice atau keadilan iklim adalah jalan keluar yang adil untuk perubahan iklim yang berdasarkan pada hak-hak, kebutuhan, partisipasi dan kesepakatan komunitas yang merasakan dampak terbesar perubahan iklim atau yang akan terpengaruh oleh usaha-usaha mitigasi.
Komunitas yang dimaksud termasuk pula di antaranya kelompok rentan seperti petani, masyarakat adat dan nelayan. Sebagai yang paling terdampak krisis iklim, suara masyarakat rentan inilah yang paling strategis untuk didengar dalam perumusan berbagai kebijakan adaptasi dan mitigasi. Sayangnya, dilansir dari kemitraan.or.id, ruang partisipasi publik justru kian menyusut yang membuat keadilan iklim pun kian sulit terwujud.
Perjalanan panjang elemen keadilan iklim masuk dalam dokumen internasional
Masih dilansir dari kemitraan.or.id, gerakan keadilan iklim ditandai dengan beberapa milestone penting.
Tahun 1990, Corps Watch di San Franciso menerbitkan sebuah laporan berjudul "Green House Gangsters vs Climate Justice". Laporan ini menegaskan bahwa dampak lingkungan yang ditimbulkan perusahaan minyak terbukti jauh lebih berat menimpak kelompok miskin. Laporan ini pula yang menjadi tonggak dimulainya gerakan untuk menyoroti perspektif keadilan dan keberpihakan bagi kelompok rentan dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Tahun 2004, masyarakat Nigeria membentuk Durban Group on Climate Justice yang ditujukan terhadap perusahaan minyak Shell. Langkah ini sekaligus menjadi penguat dorongan wacana keadilan iklim.
Lalu tahun 2007, di tengah perhelatan COP13, Civil Society Forum mendeklarasikan "Climate Justice Now!" di Denpasar, Bali. Deklarasi ini juga menjadi tonggak penting gerakan keadilan iklim.
Turut pula pidato ensiklikm surat kepada manusia, paus Franciscus I bertajuk "Laudato Si - Care for Our Common Home" pada tahun 2015 lalu. Dalam pidatonya, Paus menggarisbawahi sejumlah masalah yang dihadapi umat manusia, mulai dari polusi, perubahan iklik, langkanya air, hilangnya biodivesitas, ketimpangan global hingga bagaimana teknologi telah memisahkan manusia dari lingkungan dan mengedepankan kepentingan ekonomi.
Milestone inilah yang kemudian membantu perjuangan memasukkan elemen keadilan iklim dalam dokumen-dokumen internasional.
Anak muda bisa apa?
Untuk mendapatkan keadilan iklim, sebetulnya banyak hal yang bisa dilakukan seperti membuka ruang diskusi bebas tekanan dari kelompok rentan agar mereka bisa efektif beradaptasi dengan perubahan iklim dan mencegah maladaptasi.
Perlu pula diwujudkan Undang-undang keadilan iklim untuk memperkecil ketimpangan dan bisa memberi manfaat bagi kalangan miskin dan kelompok rentan. Sebab selama ini, yang menanggung dampak buruk dari perubahan iklim justeru dari pihak yang paling tidak tahu menahu proses kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Bila sejumlah korporasi dan aliansi bergerak memberikan keadilan iklim pada kelompok yang membutuhkan, anak-anak muda juga bisa turut berkontribusi melakukan hal serupa, contohnya dengan mengenali climate justice serta ikut menyuarakan keadilan iklim dengan karya seperti film, tulisan atau konten visual lainnya yang mungkin belum terlalu diketahui secara detail oleh sejumlah anak muda.
Sumber-sumber:
https://agrisustineri.org/jumlah-petani-muda-di-indonesia-yang-ideal/?amp=1
https://www.kemitraan.or.id/kabar/aksi-perubahan-iklim-mustahil-tanpa-keadilan-dan-partisipasi-publik-yang-bermakna
https://www.downtoearth-indonesia.org/id/theme/climate-justice
https://www.kemitraan.or.id/kabar/generasi-muda-masyarakat-adat-dan-perubahan-iklim
Mengenai jumlah petani yang terus berkurang, perlu pendidikan motivasi untuk penduduk berusia muda di area pertanian supaya mau menjadi petani.
ReplyDeleteMudah-mudahan cara ini bisa membantu menciptakan keadilan iklim di kalangan penduduk area pertanian itu sendiri.
Undang-undang keadilan iklim ... saya masih bertanya2 seperti apa ya kira2 bentuknya tapi memang setiap orang perlu bergerak untuk urusan iklim ini, mengambil peran kecil masing2.
ReplyDeleteBetul sekali dampak nya itu sangat terasa. Banyak bencana, musim yang tidak bisa diprediksi dan hama tanaman yang selalu bikin merugi saat panen. Kita memang harus bergerak untuk memperbaiki iklim
ReplyDeleteClimate Justice ini sebenarnya melibatkan semua pihak untuk bekerjasama. Bergerak bersama menjaga keseimbangan iklim di bumi ini agar semua berjalan kembali nyaman dengan kondisi lingkungan yang baik, mencegah bencana yang terjadi jika ada anomali cuaca dan semua makhluk hidup tetap memiliki habitat yang baik di bumi ini.
ReplyDeleteSemoga terwujud ya undang2 keadilan iklim agar tidak ada lagi ketimpangan bagi kaum rentan smoga kdepannya anak2 muda juga aktif terlibat untuk menyuarakannya
ReplyDeleteaku baru sadar bener juga yah mba semakin tahun jumlah petani semakin berkurang dan besar kemungkinan anak muda tak ada lagi yang ingin menjadi petani, harus ada banyak peran yang mengusahakan agar profesi petani tetap diminati
ReplyDeleteiya bener banget.jumlah petani makin berkurang. mungkin karena alih lahan menjadi perumahan dan industri juga. belum lagi mindset generasi sekarang yg pengin kerja kantoran dan PNS. padahal mereka lupa nenek moyang mereka bisa sukses dari hasil bertani. saya aja merindukan bisa punya kebun, tapi apa daya tak punya lahan
ReplyDeletemiris ya, justru yang tidak tahu tentang kebijakan malah yang ikut pula merasakan dampak dari perubahan iklim, padahal untuk mendapatkan dokumentasi internasional ini sudah dimulai sejak puluhan tahun lalu malah ya :(
ReplyDeletesemoga deh keadilan iklim ini bisa segera tercapai.
Miris banget melihat semakin banyak lingkungan yang rusak karena ulah manusia
ReplyDeleteMakanya perlu banget penegakan keadilan iklim ini ya mbak
saya agak bingung nih. si satu sisi katanya jumlah petani berkurang ya tapi ada juga berita yang menyebutkan anak-anak muda yang mulai terjun ke dunia pertanian ini lewat lahan organik atau atapun itu. kalau mikir jumlah lahan dan minat bertani yang berkurang memang takutnya kita jadi krisis pangan nih beberapa tahun ke depan
ReplyDeleteSoalnya pamornya kalau petani itu ga bergengsi kuno padahal sumber pangan kita ya dari tangan2 petani juga, ngeri kalau Indonesia kehabisan SDM sebagai Petani ya mba, masa mau impor terus, huhu. Sepertinya sekarang ini hanya anak2 muda yg idealis aja mba yg teguh mau mengabdi di sawah dan kebun
ReplyDeleteFaktor terbesar petani berkurang karena tidak ada generasi penerus. memang betul hasilnya juga kadang terlalu jauh dari jeri payah. Dari hama, kekurangan air dan sebagainya. Ditambah perubahan iklim ini. Semoga ada solusi yang baik.
ReplyDeleteaku kadang suka berpikir apakah kedepannya akan ada petani lagi, karena sekarang sepertinya kurang banget anak muda yang mau terjun menjadi petani. Ditambah lagi dengan perubahan iklim yang cukup ekstrem belakangan ini. Semoga dengan adanya solusi dan semakin banyak anak muda yang mau turun tangan, ke depannya akan tetap ada petani
ReplyDelete