![]() |
Ilustrasi selimut polusi | Foto: brgfx via Freepik diolah dengan Canva |
Manggarai yang kubenci
Setiap Senin hingga Jumat, di sana aku berkutat. Di stasiun Manggarai untuk melanjutkan perjalanan ke kantor entah dengan ojek daring atau memanfaatkan Transjakarta.
Tak usahlah ditanya yang mana yang sudah kucoba, tentu saja keduanya.
Kerap aku menjajal ojek daring. Kupikir, motor akan lebih efesien karena jalannya bisa was wus was wus menembus kendaraan lain yang mengakibatkan macet. Memang benar, jalannya motor super cekatan. Tapi memilih motor berarti harus siap dengan terik panas, rambuk lepek, pakaian bau asap kendaraan dan bau matahari serta harus sabar dengan polusi suara kendaraan yang tak ada habisnya. Super mengundang emosi.
Pernah pula aku mencoba naik Transjakarta. Nyaman sekali di dalam bus ini. Sudahlah murah, memiliki AC, punya jalur sendiri pula. Kukira, dengan memiliki jalurnya sendiri, bus ini akan berjalan mulus seperti di jalan tol.
Ternyata tak begitu juga. Sebab ada saja pengendara yang nakal berkendara di jalur khusus busway. Pun bila tak ada pengendara yang berjalan di jalurnya, bus ini juga kadang harus ikut-ikutan macet, sabar menunggu kendaraan lain selesai melintas. Ujung-ujungnya, opsi berkendara dengan motor memang jauh lebih tepat.
Jarak stasiun ke kantor sebetulnya tidaklah jauh. Hanya 10 menit perjalanan dengan motor bila tak macet. Namun, berjubelnya kendaraan bikin perjalanan bisa menembus 20-30 menit bahkan kadang lebih.
Akibatnya, bukan hanya penampilan yang berantakan setibanya di kantor, mood pun ikut tak beraturan. Ini berdampak pada produktivitas dan kinerja sepanjang hari.
Perjalanan yang menguras tenaga ini membuatku menyerah. Aku benci dengan Manggarai, hiruk pikuknya dan udaranya yang tak bersahabat. Aku benci dengan Manggarai yang bahkan gerimis saja tak mampu membuang baunya asap kendaraan di sana. Aku benci Manggarai yang hujan saja tak berhasil mengembalikan rasa sejuknya.
Perjalanan ini pulalah yang menjadi salah satu alasanku untuk mundur jadi pekerja urban di Jakarta. Sampai kapan hidup menghirup udara abu-abu di kota ini?
Maaf Manggarai, kau memang bersahabat urusan harga dan gaji, tapi tidak dengan kualitas hidup yang mumpuni. Maaf Manggarai, aku membenci riuh polusi udara dan suara di sekitarmu.
Dan aku percaya, apa yang kualami dirasakan juga oleh pekerja lain yang ada di Jakarta. Terlalu dusta rasanya bila sampai bilang tidak.
Itu baru polusi di sekitar Manggarai saja, tak terbayang polusi udara yang dihasilkan di area pabrik. Polusi udara dari asap kendaraan, asap pabrik, asap rokok, bercampur di sana.
Perubahan iklim dan dampaknya bagi manusia
![]() |
Dampak polusi untuk kesehatan manusia | Foto: master1305 via Freepik diolah dengan Canva |
Selain apa yang aku dan warga Jabodetabek alami, ada banyak sekali urusan tak mengenakkan akibat perubahan iklim di bumi ini.
Beberapa waktu lalu, akun Instagram Lambe Turah membagikan video yang sangat memilukan. Dalam video yang viral tersebut, seorang petani terlihat memegang Melon-melon yang seharusnya siap untuk dipanen.
Sesekali, Melon yang gagal dipanen itu dibanting kembali ke air sebagai bentuk kecewanya yang mengalami gagal panen. Ya, dibanting ke air, bukan ke tanah. Sebab kondisi dalam video tersebut menunjukkan bahwa buah Melon terendam atau tertutupi air hujan hingga menutupi hampir ke puncak tanaman.
Ada juga kisah pilu dari sejumlah nelayan yang mengaku jumlah ikan tangkapannya jauh berkurang dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Ya, berbagai penyakit seperti ISPA, asma, kanker paru-paru dan berkurangnya kadar Oksigen dalam tubuh manusia, mental yang terganggu, menyasar pula ke sektor pertanian, perikanan, sejumlah titik lokasi banjir, di sejumlah titik malah kekeringan, dan masih banyak lagi kasus lainnya menjadi dampak-dampak negatif dari perubahan iklim yang kini kian terasa.
Mengenal perubahan iklim
![]() |
Ilustrasi perubahan iklim | Foto: Freepik |
Selimut polusi membuat bumi semakin panas dan menyebabkan perubahan iklim.
Bicara soal perubahan iklim, istilah ini belakangan sering digaungkan. Aku khawatir, begitu seringnya, orang sampai lupa dengan defenisinya. Untuk itu, yuk kita mengenal kembali apa itu perubahan iklim.
Dilansir dari ditjenppi.menlhk.go.id perubahan iklim adalah perubahan siginifikan pada iklim, suhu udara dan curah hujan yang disebabkan oleh naiknya temperatur bumi akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca pada atmosfer bumi.
Hal yang senada juga disampaikan oleh PBB, perubahan iklim mengacu pada perubahan suhu dan pola cuaca dalam jangka panjang. Pergeseran ini mungkin bersifat alami, tetapi sejak periode 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi pendorong utama perubahan iklim, terutama dengan pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak dan gas yang menghasilkan gas yang memerangkap panas.
Tingginya curah hujan, musim kemarau yang berkepanjangan, peningkatan volume air akibat mencairnya es di kutub, terjadinya sejumlah bencana alam seperti angin puting beliung serta berkurangnya sumber air merupakan beberapa perubahan iklim yang kini kita rasakan.
Hutan dan kemampuannya atasi polusi dan perubahan iklim
![]() |
Hutan dan kemampuannya atasi polusi dan perubahan iklim | Foto: Nikitabuida via Freepik |
Hutan yang memiliki fungsi untuk menyerap Karbon dioksida dan mengeluarkan Oksigen ini, tak bisa melakukan fungsinya dengan baik bila dieksploitasi secara berlebihan.
Memang sih, pada tahun 2021 Menlhk menyebutkan deforestasi di Indonesia turun hingga titik terendah dalam sejarah, namun, kondisinya yang sempat gundul membutuhkan waktu yang panjang pula untuk pohon-pohon tumbuh sebelum kembali melakukan tugasnya.
Padahal, kalau saja tidak ada alih fungsi hutan, tidak ada pembakaran hutan, tidak ada pula deforestasi, mungkin makhluk bernama manusia di bumi pertiwi ini akan menjadi manusia terpuas menghirup Oksigen secara cuma-cuma.
Satu batang pohon saja, mampu menyerap gas CO2 sebanyak 28 ton per tahun dan menampung hingga 100 liter air per tahun. Itu artinya, melakukan penanaman berarti manusia juga telah menjaga sumber Oksigennya secara gratis sebanyak 10 ton per tahun dan bisa menggunakan air sekitar 10 liter per hari.
Kolaborasi bersama demi mengatasi perubahan iklim
![]() |
PLTS Atap Danone | Foto: Detik |
IPCC (Intergovernmental Panel Climate Change), sebuah komunitas ilmuwan yang didirikan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa yang setiap tahun mengeluarkan laporan ilmiah untuk memperingatkan manusia tentang keadaan bumi dan krisis iklim.
Terbaru oleh IPCC melaporkan dengan mengangkat headline ”Code Red for Humanity” Atau ”Kode Merah untuk Kemanusiaan” judul lain yang diangkat oleh mereka adalah "Global Climate Crisis: Inevitible, Unprecedented and Irreversible”.
Headline ini merupakan laporan terbaru kondisi bumi dan iklim dari IPCC yang menarik perhatian banyak orang. Pasalnya, kata Irreversible dalam headline tersebut yang merujuk pada bumi kita, sangat penting untuk digarisbawahi. Ini artinya, saat kita tiba di satu titik, kita tidak akan bisa kembali lagi.
Kabar buruknya adalah, kondisi bumi saat ini jauh dari batas kenaikan suhu yang telah disepakati bersama, yaitu akan mencapai 1,5 derajat C dalam dua dekade mendatang.
Bisa dikatakan, dua dekade ini merupakan dekade terakhir sebagai upaya penyelamatan suhu bumi agar bisa turun atau setidaknya tak lagi naik.
Untuk mencapai tujuan ini, tentu dibutuhkan kolaborasi multi pihak dan lintas sektor agar target bisa kita capai.
Bagi yang belum tau, sejumlah industri besar kini telah beralih menggunakan tenaga surya dalam produksi bisnisnya. Danone Indonesia misalnya.
Danone-AQUA menjadi pelopor pemanfaatan PLTS Atap di industri dalam negeri sejak tahun 2017 yang hingga kini telah memanfaatkan PLTS Atap di lima pabriknya sebagai komitmen penggunaan energi bersih.
PLTS Atap sendiri merupakan pembakit listrik tenaga surya dengan panelnya dipasang di atas atap yang jauh lebih ramah lingkungan, sehingga efek pemanasan global bisa berkurang. 1 kWp energi surya dapat mengurangi emisi CO2 sebanyak 9 ton per tahunnya.
Di pabriknya di Mekarsari, penggunaan PLTS Atap ini bisa mengurangi emisi karbon hingga 16.633 ton CO2/tahun.
Industri-industri lain juga telah melakukan hal yang sama, harapannya sih, langkah ini segera disusul oleh industri yang belum menerapkan PLTS Atap untuk mencapai tujuan mengembalikan kondisi bumi yang lebih baik lagi.
Selain industri, organisasi peduli lingkungan juga mulai menaikkan taringnya. Berbagai kampanye peduli lingkungan mulai terus disuarakan.
Syukurlah, ajakan ini tak bertepuk sebelah tangan.
Sejumlah konten edukasi seputar kesehatan lingkungan kini mudah sekali ditemukan lalu lalang di lini masa sosial media, entah itu berbentuk foto, video atau tulisan.
Apa yang bisa kita lakukan untuk hajar #selimutpolusi?
Bila industri-industri besar saja telah menerapkan berbagai upaya sebagai kontribusi menyelamatkan bumi sebagai satu-satunya tempat yang bisa kita tinggali ini, lalu apa yang bisa kita lakukan selaku #MudamudiBumi untuk hajar selimut polusi?
Mulai lah bergerak dari diri sendiri dan lakukan sejumlah langkah ini:
1. Alih-alih menggunakan mobil pribadi, gunakan transportasi umum saat bepergian.
Sebuah iklan menunjukkan bagaimana kendaraan roda empat mengambil space yang sangat banyak di jalan raya.
Kendaraan tersebut kemudian disingkirkan dan hanya ada pengguna kendaraan di sana. Dan betul, yang padat di jalanan itu sebetulnya kendaraannya, manusianya bahkan mungkin bisa dimuat di beberapa bus saja.
2. Mengurangi penggunaan listrik saat sedang tidak dibutuhkan
3. Ikut berkontribusi dalam kampanye-kampanye terbuka organisasi peduli lingkungan untuk menunjukkan kepedulian terhadap bumi yang kita tinggali
4. Menyuarakan kontribusi-kontribusi kecil kepada orang-orang terdekat, baik lewat sosial media, mulut ke mulut pesan teks atau lewat apapun yang memungkinkan informasi tersampaikan dengan jelas
5. Menghabiskan makanan dan menekan food waste seminimal mungkin sebab sama makanan menghasilkan gas metana yang bikin #selimutpolusi kian tebal
6. Bagi yang memiliki sejumlah kesibukan sepanjang pekan, kamu juga tetap bisa mengikuti gerakan menanam pohon di hutan tanpa perlu ke hutan yang diinisiasi #TeamUpForImpact lho!
7. Kurangi penggunaan tisu dan beralih ke sapu tangan yang dapat digunakan berulang
8. Libatkan anak kecil sejak dini untuk mencintai lingkungan agar kelak dewasa, anak-anak tahu dan sudah beradaptasi dengan apa saja tanggungjawabnya dalam menjaga bumi tempat tinggalnya.
9. Mengumpulkan minyak jelantah untuk dimanfaatkan sebagai biofuel atau Bahan Bakar Nabati (BBN)
Apa saja #untukmubumiku
Beranda-andai memang menyenangkan, apalagi bila semesta berbaik hati mengabulkannya.
Sejak dulu, ada dua hal yang ingin kulakukan bila aku menjadi pemangku kebijakan, yang pertama penggunaan kebaya bagi perempuan pekerja satu hari dalam satu minggu, dan yang kedua mengadakan car free day di hari kerja untuk pekerja kantoran di hari yang berbeda, satu kali saja dalam satu minggu.
Bagaimana denganmu? Punya ide hajar selimut polusi? Share ide versi kamu ya?! Aku lakukan apa saja #untukmubumiku, kita lakukan apa saja untuk bumi tempat tinggal kita.
Polusi di Jakarta memang sangat tinggi banget. Sampai mikir panjang sebelum ke luar untuk ke Jkt. Well, apalagi polusi dunia. Bumi makin rentan dan harus segera perlu penanganan yang cepat dan tepat. Saya sendiri mengingat diri sendiri untuk tetap konsisten menanam dan kurangi penggunaan plastik untuk kurangi polusi dan climate change.
ReplyDeletePolusi Jakarta yang begitu tinggi juga membuat saya mengkhawatirkan tentang polusi dunia. Semoga saja semakin banyak individu yang sadar dengan penghijauan
ReplyDeleteAku juga pengen banget ada hari dimana kita nggak menghasilkan polusi, misalnya dengan berangkat kerja atau beraktifitas menggunakan sepeda. Bener sih, semuanya akan terasa berat jika kita lakukan sendiri. Kalau semua pihak mendukung dan berperan dalam mencegah perubahan iklim. Pasti akan terasa ringan dan menyenangkan.
ReplyDeletePolusi Bumi ini yang membahayakan kita karena mengurangi kualitas hidup manusia. Nah, dgn menjaga lingkungan skitar seperti menjaga kelestarian alam, mengurangi penggunaan listrik dsb, jga akan jadi dukungan buat kita utk hajar polusi di bumi kita ini yaa Mba
ReplyDeleteHajar selimut polusi dengan menggunakan kendaraan yang ramah, atau pakai transportasi publik buat kemana-mana sebenarnya langkah oke, tetapi harus bareng² sih ya, biar kelihatan perubahannya
ReplyDeleteAku merasakan yang mba Efa rasakan. Aku kalau ke kantor menggunakan transjakarta atau ojek online.
ReplyDeleteYg terasa banget pas naik ojek online, ya panasnya matahari. Belum lagi dijalan macet dimana², tak hanya karna banyaknya kendaraan, tapi banyaknya pembangunan-pengbangunan yang menghambat arus lalu lintas. Memperkecil ruas jalan bagi pengendara jadinya.
Setuju banget dengan gerakan hajar #selimutpolusi. Agar kesehatan kita semua terjaga.
Perlu upaya bersama untuk menghajar selimut polusi ini ya mbak
ReplyDeleteSebab, kalau tidak segera diatasi, selimut polusi bisa mempercepat laju perubahan iklim