![]() |
Kolaborasi anak negeri dengan teknologi untuk kenalkan budaya hingga ke berbagai negara | Olah gambar: Efa Butar Butar - Foto: rawpixel.com via Freepik |
Sempat dikhawatirkan akan gerus budaya dari anak muda
Penggunaan internet di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1984, lalu tahun 1992-1994, sebuah Paguyuban mulai mengembangkan internet di Indonesia. Sejak itulah masyarakat umum mulai bersentuhan dengan internet.
Popularitas internet kian menggeliat sejak bisnis warung internet (warnet) mulai merebak pasca reformasi hingga awal tahun 2000an. Lalu terus berkembang hingga mulai bisa diakses dengan perangkat mobile sejak munculnya teknologi 3G, hingga kini memasuki era layanan 5G yang telah berhasil diterapkan oleh IndiHome.
Sejak globalisasi, berbagai pihak sempat menyampaikan kekhawatiran tentang bagaimana peran teknologi terhadap kehidupan manusia.
Dilansir dari Republika, globalisasi dinilai dapat menimbulkan berbagai masalah dalam bidang sosial dan kebudayaan seperti hilangnya sifat kekeluargaan, gotong royong dan hilangnya nilai-nilai budaya (Sumber: Republika). Sejumlah media pun turut mengatakan hal senada.
Kolaborasi berbagai pihak memaksimalkan manfaat internet
![]() |
Output edukasi Content Creator dalam memaksimalkan manfaat Internet | Olah gambar: Efa Butar butar |
Memang, sebuah perubahan akan memberikan dampak negatif dan positif. Namun, beruntungnya, kolaborasi berbagai pihak membuat kekhawatiran tersebut perlahan-lahan bisa ditepis dengan mamaksimalkan manfaat internet.
Sebut saja Kominfo yang terus menyuarakan bagaimana memilah informasi yang benar sebelum dikonsumsi. Saring sebelum sharing katanya.
Lalu, bagaimana Kemenparekraf dan Kemendikbud gandeng anak muda Indonesia untuk memperkenalkan kecantikan bangsa hingga kekayaan budaya sampai ke mancanegara.
Masih inget penyanyi asal Indonesia, Anggun dan 28 penari asal Solo pukau penonton lewat Sindennya di Paris, Prancis dalam Gelaran Java in Paris? Wah, itu tampilannya benar-benar menakjubkan!
Kemenparekraf bahkan terjun langsung memberikan sejumlah fasilitas gratis yang bisa dimanfaatkan Content Creator Indonesia untuk mendalami ilmu digital, termasuk di dalamnya sulih suara.
Lewat padu padan edukasi berbagai pihak, Content Creator akhirnya bisa berekpresi di ruang digital untuk menelurkan output berupa konten terpercaya, aktual, baik, benar dan menarik untuk dikonsumsi.
Konten yang dimaksud dikemas dalam sejumlah bentuk seperti foto yang apik, video yang ciamik terutama saat dibumbui pula dengan sedikit olah cinematik membuat karya terlihat makin menarik, ada juga yang melakukannya dalam bentuk video pendek, komik, animasi, hingga artikel.
Sejumlah acara memang telah diselenggarakan dengan terjun langsung ke lapangan melibatkan sejumlah anak muda Indonesia dari Sabang hingga Merauke seperti perjalanan Jalur Rempah yang dilakukan Kemendikbud dan Edutrip untuk mahasiswa yang dilakukan oleh Kemenparekraf.
Namun sebagian lagi, belakangan dilakukan secara virtual mengingat kondisi pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya usai.
Meski mobilitas terbatas, faktanya, internet yang dulu kehadirannya sempat dikhawatirkan itu justeru menjadi pegangan utama selama pandemi untuk memperdalam sejumlah ilmu dan pengalaman baru.
Flash back ke masa kecil, ketika tarian tradisional terus terlihat di panggung Natal
Kala duduk di Sekolah Dasar di desa dulu, satu setengah dekade yang lalu, anak kecil akan diajari menari oleh sejumlah kakak dan abang remaja. Nantinya, tarian ini akan ditampilkan di pentas Natal.
Bukan sekedar tarian belaka, yang diajaripun tarian tradisional Tortor Batak yang setiap gerakannya mengandung makna. Dari kata Tortor, masyarakat Batak kerap menyebutnya manortor atau menari yang dilakukan dengan iringan musik tradisional Batak.
Ada sejumlah gerakan dalam Tortor Batak yakni:
- Gerakan mangurdot
- Gerakan pangalakka
- Marsomba / Gerak somba
- Mambuka Tortor
- Marembas dan
- Manerser.
Lalu gerakan-gerakan diatas akan dikemas dalam tarian dan ditampilkan bersamaan dengan rangkaian Gondang Bolon seperti Gondang Mula-mula, Gondang Somba-somba, Gondang Mangaliat, Gondang Mangolopi dan Gondang Hasahatan Sitio-tio.
Itupun tak boleh asal digerakkan. Ada sejumlah sikap atau aturan dalam manortor (menari) yang harus diikuti. Misalnya, hohom atau diam, tampil berhikmat dan sopan saat gondang Somba-somba digaungkan pemusik.
Somba bermakna hormat. Saat gondang ini ditabuh, pihak boru atau perempuan akan menundukkan kepala ke arah pihak hula-hula atau lelaki dengan tangan ditangkup lalu diayun berulang di depan wajah. Mata menatap kedua ibu jari. Kepala tidak terlalu tunduk, namun tak bisa pula mendongak yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada hula-hula.
Aktivitas tarian menyambut Natal ini rupanya hingga kini masih diteruskan oleh anak-anak muda daerah, hanya saja, pilihan lagu yang ditarikan sudah lebih didominasi lagu campuran dan modern. Sedangkan tarian tradisional hanya beberapa saja.
Lalu, apakah dengan begitu, salah satu kekayaan budaya yang seharusnya masih terjaga di daerah kini berangsur hilang?
Faktanya tidak demikian. Ini terlihat saat acara adat berlangsung di daerah. Anak-anak dan anak muda di sana masih fasih melakukan tarian-tarian tersebut.
Potensi kenalkan budaya hingga ke berbagai negara
Kuatnya dampak yang dibawa oleh kemajuan internet dalam kehidupan memang tidak bisa ditepis.
Saya pernah dibuat terkejut dengan fakta bahwa Batak Toba memiliki seni bela diri yang bernama Mossak yang konon hampir punah.
Baca juga: Mengenal Mossak, Seni Bela Diri Batak Toba yang Hampir Punah
Kata mossak sendiri kerap sekali diserukan saat kecil. Namun, tak satupun orangtua saat itu yang memberi tahu makna sebenarnya dari mossak.
Karena kata ini kerap diteriakkan setiap kali anak-anak desa berlarian, gaduh, ribut atau bertengkar, kami jadi berasumsi bahwa itulah defenisi mossak itu. Padahal, di balik itu, kata ini mengandung makna yang sangat dalam khususnya untuk Batak Toba.
Artikel yang saya tulis disambut baik oleh beberapa tetua yang punya pemahaman dan kenangan tentang Mossak.
Dan surprisingly, sejumlah anak muda Batak Toba itu sendiri juga mengaku baru tahu tentang fakta ini.
Kakak tingkat SMA yang lama tak saling sapa dan hanya berjumpa nama lewat story saja turut angkat suara. Mengaku bahwa merekapun tak tahu tentang fakta tersebut. Ironis - lagi - kami sama-sama putri putri daerah.
Sebegitu mengejutkannya, artikel yang kutulis dibagikan oleh orang-orang yang baru saja mengetahui informasi tersebut.
Beruntung sekali aku dipertemukan dengan informasi tentang kekayaan budaya ini. Meski digembar gemborkan hampir punah, sejumlah informasi ternyata tetap menghangatkan hati karena faktanya, sejumlah anak muda di Toba sana, sedang berupaya kembali mengutuhkan puing-puing gerakan dan menjaga seni bela diri ini untuk tampil dan utuh kembali. Aku sangat sangat sangat berharap, kelak satu waktu, aku bisa menyaksikan kesenian ini secara langsung. Semoga.
Thanks to IndiHome, lewat layanannya yang cuma Rp 375.000 per bulan itu, saya dan seluruh anggota keluarga bisa bebas dan puas menikmati sejumlah informasi berharga yang bisa saya bagikan pada seluruh anak muda Batak Toba di berbagai tempat di dunia untuk kemudian mereka sama-sama mengetahuinya.
Ini yang kumaksud dengan kolaborasi anak negeri dengan teknologi terutama internet untuk kenalkan budaya hingga ke berbagai negara.
Bayangkan saja apa jadinya bila layanan dari Telkom Indonesia ini telah memberikan layanan yang terbaik namun anak muda bangsa hanya diam sebagai penikmat berita saja? Tentu informasi tersebut tak akan menyebar.
Lalu apa jadinya jika anak muda bangsa penuh dengan kreativitas namun terbatas oleh penyebaran informasi yang stagnan dan tak bisa mencapai tempat yang lebih luas?
Butuh kolaborasi yang baik antar keduanya.
Optimisme budaya Indonesia bisa mendunia
![]() |
Citayam fashion week ABG SCBD yang dilirik media Jepang | Olah gambar: Efa Butar butar |
Baru-baru ini, SCBD yang selama ini dikenal sebagai akronim dari Sudirman Central Business Districk diplesetkan menjadi Sudirman, Citayam, Bojonggede dan Depok.
Plesetan ini terjadi lantaran belakangan area tersebut khususnya Sudirman dan Dukuh atas, dipenuhi oleh para remaja yang berasal dari Citayam, Bojonggede dan Depok.
Para remaja ini berkumpul dengan berbagai fashion unik nan nyentrik yang kemudian viral di Tiktok dan Instagram hingga kemudian mulailah muncul istilah Citayam fashion week.
Meski menuai pro kontra, fenomena ini rupanya mencuri perhatian dunia.
Media busana Jepang bertajuk Tokyo Fashion memberikan apresiasi terhadap gaya berpakaian para ABG tersebut. Tak tanggung-tanggung, mereka juga menyebut bahwa gaya Citayam fashion week mirip seperti sebuah catwalk supermodel. (Sumber: suara.com)
Fenomena inipun berhasil menarik pengunjung masuk ke Jakarta. Ke depan, bila aktivitas ini dilakukan dengan lebih tertib, terjaga dan seluruh pihak bekerja sama untuk menjaga keamanan tanpa mengurangi kreativitas di dalamnya, bukan tidak mungkin SCBD perlahan-lahan menjadi "Harajuku" nya Indonesia.
Menariknya lagi, baru-baru ini, Dian Sastro juga bergerak dalam balutan kebaya untuk membawa pesan agar masyarakat turut kenakan pakaian dari nenek moyang Indonesia ini demi membawa kebaya menjadi warisan budaya UNESCO.
Sayangnya, hingga kini gerakan tersebut rupanya masih pekerjaan rumah yang tak bisa selesai dalam semalam sebab penggunanya masih stagnan dalam acara-acara tertentu saja atau dalam aktivitas formal.
Coba saja ada wanita Indonesia yang mengenakan kebaya, ada saja tetangga nyeletuk "Ada acara dimana?" Ini menggambarkan bahwa kebaya masih terikat dalam urusan-urusan formal semata.
Padahal, salah satu langkah awal menjadikan kebaya warisan budaya UNESCO adalah mengarusutamakan penggunaan kebaya di tengah kaum hawa Indonesia.
Meski komunitas pecinta kebaya kian marak, butuh gerakan yang lebih masif untuk bisa mewujudkan impian kita bersama ini.
Di SCBD sendiri, Pemprov DKI lewat Dinas Lingkungan Hidup DKI menggandeng Jasmine Laticia alias Jeje Slebew dan Eka Saputar alias Bonge sebagai Duta SCBD untuk memberikan edukasi tentang kebersihan kepada teman-temannya.
Imbalannya, kedua anak remaja tersebut meminta diberikan beasiswa yang sebetulnya sudah ditawarkan lebih dahulu oleh Kemenpar, Mas Sandiaga Uno.
Meski banyak dicibir, lihatlah bagaimana internetnya Indonesia mengubah Jeje dan citranya di lingkup remaja SCBD lewat kontennya serta dampak kuat yang dibawanya hingga dipercaya menjadi Duta SCBD. From nothing to something yang kuat lewat karya sedang mereka yang mencibir, they still nothing!
Maksudku adalah, dengan fakta menarik yang kini dampaknya mulai terlihat yang dimulai oleh remaja SCBD lewat pemanfaatan internet, bukan hal yang tak mungkin membuat kebaya mendunia hingga dikenakan seluruh hawa Indonesia.
![]() |
Kolaborasi Internet dan anak muda akan memuluskan jalan Kebaya goes to UNESCO | Olah gambar: Efa Butar butar |
Bagaimana bila gerakan itulah yang ditunjukkan di Citayam fashion week SCBD? Bila Harajuku terkenal dengan lokasi pusat budaya dan gaya busana remaja paling ekstrem di Jepang, bukankah kita bisa melakukan hal yang sama dengan mengganti fashion tersebut menjadi kebaya bagi wanita atau jarik untuk pria?
Toh, media luarpun sudah notice keberadaan dan fenomena ABG SCBD ini dalam lingkup yang positif.
Saya pun turut membayangkan bila secara bergantian dan intens, pertunjukan-pertunjukan budaya daerah dilakukan di sini tanpa mengganggu mobilitas pengguna jalan raya.
Terbaru saya membaca berita bahwa ABG SCBD dibubarkan. Mungkin memang butuh aturan yang tepat dari pihak terkait untuk menertibkan kegiatan di sana.
Bagaimana penentuan waktu lokasi diizinkan untuk ABG SCBD dan kapan seluruh aktivitas harus berakhir.
Dengan begitu seluruh pihak masih tetap diuntungkan.
Anak-anak tersebut masih memiliki ruang berkreasi dan menghasilkan konten, pekerja di area SCBD tak terganggu mobilitasnya, penjualan UMKM di sekitar lokasi terus meningkat dan potensi destinasi wisata baru untuk dikunjungi di Jakarta kini bertambah lagi. Dan yang tak kalah penting, lokasi baru ini seru bukan main! Siapa saja bisa adu gaya.
Bukan hal yang tak mungkin pula bila Tortor Batak yang gamang dilakukan oleh suku Batak Toba asli namun besar di kota ini jadi fasih ditarikan. Bukan hal yang mustahil bila gerakan gemulai yang penuh arti ini mencuri perhatian dunia. Hal yang sama bisa diterapkan pula terhadap kesenian-kesenian dan seni budaya Indonesia lainnya.
Bukan tak mungkin Mossak kembali bersinar dan dilestarikan lagi.
Sama seperti gerakan yang telah dimulai Mas Sandi Uno dan Pemprov DKI, perlu melibatkan anak muda untuk kenalkan budaya ke mata dunia.
Sisanya, kolaborasi hasil edukasi Content Creator untuk menghasilkan karya bertema budaya dan IndiHome, Internetnya Indonesia, yang menyebarkannya secara masif hingga ke berbagai penjuru dunia.