![]() |
Ilustrasi: Freepik |
*Artikel ini disertakan dalam 30 hari lomba menulis untuk perayaan 1 tahun anabutarbutar.com
Penulis: Priestin Dian Prawesty
Pada saat menempuh
pendidikan ditingkat Sekolah Dasar, hampir semua dari kita pernah diberi tugas
membuat sebuah tulisan dengan tema cita- citaku. Tak terkecuali aku, juga
pernah dapat tugas itu.
Dulu aku sempat beberapa
kali mendapat tugas itu, entah mengapa tugas itu diberikan oleh guruku lebih
dari sekali? Bisa jadi, supaya para siswanya belajar menulis dan menambah kosa
kata baru atau alasan lain yang mungkin hanya guru yang tahu.
Tugas ini menurutku menjadi
tugas yang sangat, karena sangat sulit untuk merangkai kata- kata menjadi
sebuah tulisan beberapa paragraf, walaupun sudah tahu inti paragrafnya. Ya
sudah pasti inti paragrafnya tentang cita- cita dan sudah tentu anak usia
Sekolah Dasar akan dengan sangat mudah menyebutkan cita- citanya.
Sebagian besar orang mungkin
akan senyum- senyum sendiri ketika mengingat cita- cita pada masa Sekolah
Dasar. Bisa jadi senyum bangga karena berhasil mencapai cita- citanya atau senyum
bingung mengapa dulu bisa punya cita- cita itu. Kalau aku termasuk yang
merasakan keduanya.
Ketika aku masih Sekolah
Dasar, yang kuingat aku pernah menuliskan dua cita- cita. Bukan pada saat
bersamaan, melainkan dua cita- cita diwaktu dan tulisan yang berbeda. Jadi,
saat Sekolah Dasar cita- citaku sudah pernah berganti.
Cita- citaku yang pertama
menjadi Insinyur Pertanian, walaupun sepertinya dulu aku juga tak mengerti
profesi apa itu? Tak tahu, darimana aku terinspirasi memiliki cita- cita itu.
Namun, beberapa tahun kemudian setelah aku sempat lupa dengan cita- cita itu, tidak
disangka justru bisa dibilang cita- citaku itu terwujud. Aku menempuh
pendidikan di sekolah pertanian dan sempat bekerja dibidang pertanian. Ya walau
aku tak mendapatkan gelar ‘Insinyur Pertanian’, paling tidak aku sempat
berkecimpung di dunia pertanian.
Cita- citaku yang kedua,
menjadi Dokter Anak. Kalau ini alasannya karena aku dari dulu memang menyukai
anak- anak dan mungkin juga karena dokter menjadi salah satu profesi yang
banyak dijadikan cita- cita anak usia Sekolah Dasar.
Ketika beranjak remaja mulai timbul alasan- alasan yang membuat aku tidak ingin jadi Dokter Anak lagi. Alasannya karena aku tidak menyukai bahkan tidak bisa melihat darah dan luka (kebayangkan bagaimana jika dokter tidak bisa melihat darah atau luka), tidak suka bau rumah sakit (lebih tepatnya bau obat) padahal dokter dan rumah sakit atau obat kan tidak bisa dipisahkan, lalu biaya juga termasuk salah satu alasannya juga.
Dulu ketika masih Sekolah Dasar, belum terpikirkan alasan- alasan itu. Yang terpenting aku suka anak- anak dan melihat dokter keren, sudah bisa jadi alasan memiliki cita- citaku. Namun, setelah dipikir- pikir itulah hebatnya anak kecil yang yang tak perlu takut memikirkan alasan untuk tidak maju, ketika dirasa itu yang diinginkan, dengan santai dia akan berani mengutarakannya dan tidak mencari alasan yang bisa menghambat.
Jadi, sepertinya kita perlu
sedikit ‘seperti anak kecil’ yang berani mencapai sesuatu yang diinginkan dan
tidak terlalu ambil pusing dengan resiko- resikonya. Pasti kakan lebih berani
memperjuangkan cita- cita dan mungki bukan tidak ambil pusing tapi lebih mau
ambil resikonya.
Itulah dua cita- citaku yang
pernah ada dalam tulisanku ketika masih Sekolah dasar. Dari sini, aku bisa
belajar bahwa cita- cita atau harapan yang bahkan sempat terlupakan, bisa terwujud
jika memang sudah jalan dan waktunya. Selain itu, terkadang apa yang
ditakutakan tidak seburuk itu bila terjadi. Kalau dulu aku tidak suka bau rumah
sakit, justru sekarang aku bekerja di rumah sakit (bagian administrasi, bukan
bagian medis). Jadi, percaya saja jika memang sudah jalan dan waktunya harapan
atau cita- cita akan terwujud, jangan takut untuk meraihnya. Semangat.