Hi, namaku Efa. Pegawai swasta
yang bekerja di bilangan Jakarta Selatan.
Sekitar tanggal 12 sampai 17
Maret lalu setidaknya adalah waktu yang cukup berat untukku. Berat bukan karena
beban hidup yang kutanggung, lebih kepada menghadapi kenyataan. Dan setelah 7 hari berlalu, aku merasa lega untuk bisa berbagi dengan kamu.
Seluruh dunia tahu bahwa kini
bumi sedang berjuang menyembuhkan diri. Dari sesuatu yang menyeramkan tapi juga
kasat mata. Tidak ada yang tahu di mana letaknya, namun seluruh umat manusia
tahu bahwa dia sedang mengintai.
Covid 19, atau yang lebih sering
disebut Virus Corona.
Virus ini mulai rame dibicarakan
sejak awal tahun 2020. Hadir pertama kali di Wuhan, China, sebelum akhirnya
merebak ke seluruh dunia. Termasuk Indonesia.
Awal tahun, Jakarta juga direndam
banjir. Banyak ulah yang lucu tapi berujung mengolok-olok Covid 19 yang saat
itu belum masuk ke Indonesia. Masyarakat yang terendam banjir malah bermain di
sana, berenang, bahkan ada yang sikat gigi di air banjir itu dengan tulisan “Corona
tidak ada harga dirinya di Indonesia”
Ada dua sudut pandang yang
kutarik.
- Ulah tersebut adalah bagian dari protes masyarakat kepada pemerintah yang tak henti hentinya jadi korban banjir atau
- Kita memang sedang menantang diri berhadapan dengan Covid 19 yang kita kira tak memiliki harga diri dan bilang kita kebal?
Aku tanggal 16 malam, saat masih menipu diri bahwa semua baik-baik saja |
Untuk pertama kali dalam hidupku, aku berpikir “Ya Tuhan, untung hidupku ngga bersih-bersih amat”. Aku bangga hidup jorok karena kukira dengan sanggup memakan makanan “Belum 5 menit” membuat imun tubuhku lebih kebal dan tidak mudah dimasuki virus apapun.
Sampai akhirnya, awal Maret 2020,
Indonesia dikejutkan pernyataan Presiden Indonesia, Joko Widodo, tentang 2
orang warga Depok yang dinyatakan positif Corona.
Dalam rentang tanggal 12-17 itu,
beberapa pasien Corona di Indonesia mulai berpulang ke rumah Bapa di Surga.
Semakin banyak pula yang pasien yang dinyatakan positif. Tiap hari angkanya
semakin naik.
Dan aku? Aku masih tetap pegawai
swasta yang harus ke kantor mengurusi berbagai hal dengan memanfaatkan Commuter Line sebagai transportasi saat bepergian.
Kamu tau kan KRL itu gimana
padatnya di jam berangkat dan pulang kerja? Ada banyak penumpang dengan
berbagai kondisi tubuh di sana. Dan resiko penularannya sangat tinggi.
Tanggal 12, kerongkonganku mulai
sedikit tidak enak. Badanku mulai hangat. Kondisi kerongokongan kering mengarah
ke perih. Tapi aku masih bisa bawa. Kupikir, mie instan pedas dan obat flu dari
minimarket ampuhlah untuk meredakannya.
Ya pikiran sempit yang tak bagus
untuk terus dipertahankan. Tapi percayalah, jauh di dalam lubuk hatiku, aku
berada dalam kekhawatiran yang tak dapat kujelaskan. Aku hanya mencoba menipu
diriku sendiri berkata bahwa semua akan baik-baik saja.
Kondisi tubuhku tak mereda. Siang
aku kedinginan, malam aku kepanasan sampai keringat bercucuran.
Dan puncaknya di tanggal 17 Maret
lalu. Saat matahari Jakarta sedang panas-panasnya di jam 2 siang. Suaraku
bindeng. Badanku masih terus hangat. Dan, aku menggigil kedinginan dalam balutan
sweater hoodie hitam yang kukenakan.
Di balik hoodie yang kupakai, aku
menangis. Mulai jujur pada diri sendiri.
Semua ngga sedang baik-baik aja, Fa! Kamu tahu itu.
Lewat Handphone, Tanteku langsung
nelpon menanyakan kondisiku dengan suara yang tetap tenang tapi aku bisa
menangkap rasa panik di sana.
Aku meminta ijin untuk pulang
cepat kepada pimpinan yang saat itu tidak datang ke kantor. Aku sampaikan kondisiku
dan keinginan untuk segera check
kesehatan sambil terus berharap semoga pimpinan tak mengatakan pada siapapun di
kantor tentang kondisiku.
Rasanya saat itu sakit adalah
satu aib yang tak bisa diketahui satu orang pun. Jika batuk saja membuat orang
lain menatapmu dengan pandangan mengerikan, bagaimana jika ditambah dengan kondisi
yang sedang kualami? Mungkin tak ada satu orang pun yang ingin berbicara
padaku.
Aku benar-benar ngga sanggup
menerima kenyataan itu.
Bimbang
Aku memang ijin untuk cek ke
dokter kondisi diriku. Tapi aku sendiri tak yakin. Tak yakin dengan kondisi
badan yang kurang kuat, tak yakin dengan kekuatan mental jika ternyata apa yang
kutakutkanlah yang terjadi.
Dalam perjalanan pulang di KRL,
aku terus merenung.
Di antara jutaan ciptaaMu, Tuhan. Kenapa harus aku? Kok aku?
Banyak mimpi yang belum terwujud
tiba-tiba muncul, bayangan orang tua yang semakin tua dan menanti di pintu
rumah saat kukatakan aku pulang dari perantauan, bayangan kekasih hati yang sedang
berjuang untuk mempersunting. Bayangan adik laki-lakiku yang belum juga turut
sama omongan orang tua. Bayangan kakakku yang masih berjuang sendirian di
kejauhan. Bayangan adik perempuanku yang akan wisuda Agutus mendatang, bayangan
adik perempuanku yang masih mengejar mimpinya menaklukkan Eropa.
Kenapa harus aku, Tuhan?
Lagi-lagi, bersembunyi di balik hoodie dan masker yang kukenakan, aku
menangis diam-diam di kerumunan.
Di depanku ada anak balita yang
sedang main dengan Ibunya. Mereka tertawa bahagia sekali. Tak jauh dari sisi
kiriku, ada seorang pria renta menyandarkan tubuh ringkihnya, tertidur pulas
dalam KRL yang nyaman saat siang. Nyenyak sekali Beliau.
Keputusan
Ternyata hidup tak hanya tentang
diri sendiri.
Terlalu egois jika aku terus
berkeliaran dengan kondisi kesehatan yang tak pasti. Setiap benda yang
kupegang, berpotensi penularan. Gimana kalau tiba-tiba orang tuaku butuh aku
untuk pulang dan aku ternyata betul sakit? Aku berpotensi menularkan. Gimana
kalau tiba-tiba pacarku datang dan menggenggam tanganku? Aku berpotensi
menularkan.
Gimana kalau ternyata ketakutanku
untuk berobat malah berakibat pada tertularnya dua adik cantikku di rumah?
Bagaimana jika ternyata sakitku membuat Coco, si anjing kecintaan kami malah
ikut sakit juga? Gimana jika aku memeluk sahabatku di Lampung sana dan malah
menularkan?
Ternyata, ini bukan tentang
diriku sendiri. Ini tentang orang yang sedang duduk di sebelahku dalam KRL, ini
tentang balita kecil yang sedang tertawa dengan Ibunya. Ini tentang dua adikku,
ini tentang orang tuaku yang belum sanggup untuk kutinggalkan, ini tentang
rekan kerjaku dan keluarganya. Ini tentang banyak orang. Ini tentang Indonesia
dan dunia. Bukan tentang aku saja.
Dan kuputuskan, aku menaklukkan
ego dan rasa takutku. Memeriksakan diri dan mengajak diriku kuat untuk menerima
apapun hasilnya.
Demi Tuhan, seumur-umur dibawa ke
Rumah Sakit, baru ini aku ketakutan luar biasa. Meski mulutku bilang semua baik-baik
aja, hatiku tetap ketakutan akan sesuatu yang belum tentu terjadi.
![]() |
Hasil lab |
3 jam aku menuggu, mulai dari
antri, pemeriksaan, sampai ke hasil lab, Dokter memastikan aku baik-baik saja. Meski
demikian, karena kondisi tubuh yang belum fit, Dokter menyarankan untuk
menghindari keramaian sampai benar-benar pulih. #Dirumahaja dulu, katanya.
Aku mengangguk. Lega rasanya. Aku
akan di rumah. Aku akan di rumah sampai Corona mereda. Aku akan di rumah sampai
semua baik-baik saja.
Bosan? Tentu saja. Rasanya ingin hangout, rasanya ingin main ke sana
sini. Kerja yang selama ini harus terabas keramaian KRL pada akhirnya
kurindukan juga. Tapiii jika anjuran untuk #Dirumahaja dibaikan, hanya ada dua
pilihan:
- Kau akan tertular
- Kau akan menularkan
Masih banyak yang tak patuh pada
anjuran pemerintah untuk #Dirumahaja. Masih banyak yang nongkrong ngga jelas.
Masih banyak yang berkumpul di keramaian mengabaikan anjuran pemerintah. Sementara banyak pekerja yang
berharap di rumah aja belum mendapatkan hak nya karena tanggungjawab yang
menanti.
Dan untuk itu, dari aku yang
pernah dilanda ketakutan karena mengira tertular virus Corona seminggu penuh:
Jika bosan menghinggapimu di
rumah, setidaknya sisihkan satu wajah di pikiramu yang harus kau jaga. Satu
wajah yang selama ini kau tak ingin melihatnya terluka. Satu wajah yang selama
ini membuatmu lemah saat dia lemah. Dan untuk orang itu, aku mohon, bersabarlah
di rumah sampai bumi kembali baik-baik saja.
Ini untuk dirimu, untuk orang
yang kau kasihi, untuk paramedis, untuk pemerintah, dan untuk bumi pertiwi.
Semoga semua kembali seperti semula.