![]() |
Di kampung Tridi Malang | Foto: Ana Butar butar |
Liburan dan bekerja itu memang dua hal yang sangat bertolak belakang. Yang satu bikin have fun yang satu lagi bikin tertekan. Namun, jika pekerjaan yang kita geluti saat ini adalah satu satunya sumber penghasilan, sebaiknya hargai sebelum kehilangan pekerjaan tersebut menghentikan semua kota bucket list yang harus kamu selesaikan tahun ini. Keseimbangan liburan dan kerja itu perlu agar kita bisa menghargai usaha dan waktu.
Menyambut hari raya Imlek yang jatuh di hari Selasa 5 Februari 2019 ini, tentu sudah banyak rencana yang telah disusun untuk menghabiskan waktu long weekend kan ya? Nah, buat kamu yang telah memiliki rencana, selamat melanjutkan liburan sebagaimana rencana awal yaa.
Dan buat kamu yang belum punya rencana apapun, mungkin perjalananku kali ini bisa memberi sedikit inspirasi mengapa kota kesebelasan Arema menjadi lokasi yang perlu kami pertimbangkan untuk dijelajahi.
Perjalanan Ke Malang
Mendengar kata Malang, rasanya hingar bingar yang lalu lalang di benak kita adalah Bakso Malang yang fenomenal itu, kan? Oke, sebelum santap makanan khasnya kita cari tahu dulu alasan kenapa orang berbondong-bondong ke Perkampungan Rio De Janeiro versi Indonesia ini.
Usai menempuh perjalanan selama 16 jam dengan menggunakan kereta api Matarmaja, akhirnya kami berhenti di stasiun pemberhentian terakhir, yakni Stasiun Kota Baru, Malang.
Sesungguhnya perjalanan ini cukup melelahkan meskipun hanya duduk-duduk saja di kereta. Sama sekali ngga bisa tiduran atau meleng sana sini. Mau selonjorin kaki kok ya sungkan sampai akhirnya di tahan-tahan kaki tetap terjuntai ke bawah. Eh, pernumpang di depan malah dengan enaknya numpangin kaki ke kursi kita tanpa permisi atau basa basi. Ya, namanya juga transportasi umum, ada saja tingkah penumpang lain yang menyebalkan. Harus pintar-pintar ngejaga demi menghindari adu mulut di dalam kereta. Bagaimanapun, tujuan perjalanan ini adalah berwisata, bukan untuk cari ribut di kereta. Hehhe.
Selamat Datang di Stasiun Kota Baru Malang
Ahh, 16 jam berlalu begitu saja dan semua rasa kesal hilang serta merta. Hawa sejuk Malang tetiba menyapa. Ini terlalu menenangkan jika harus dibandingkan dengan ibukota yang hawanya tak pernah sehat seperti ini. Selamat datang di Stasiun Kota Baru Malang. Yeyyy. Here we go...!
Keluar dari stasiun Kota Baru Malang lalu belok ke arah kiri dan berjalan sekitar kurang lebih 500-700m, sebetulnya kami sudah menemukan lokasi target perjalanan kali ini, yakni, kampung warna warni. Namun, karena kondisi perut yang belum bersahabat, kami menyeberang dari stasiun Kota Baru Malang untuk bersantap pagi dan menikmati wedang jahe yang dapat menghangatkan tubuh sembari memulihkan kaki yang terjuntai sepanjang perjalanan.
Usai tubuh terasa lebih enak, kami melanjutkan perjalanan menuju kampung warna-warni yang sebenarnya sudah terlihat dari dalam kereta saat akan memasuki Stasiun Kota Baru Malang. Tidak jauh. Bermodal basa basi dan ketawa ketiwi selama di perjalanan, kamipun tiba di kampung warna warni.
Tiket Masuk yang Lucu dan Murah
Kalau biasanya masuk ke sebuah destinasi wisata tiket masuknya berupa kertas yang bisa saja terbuang, robek, basah, lecek dan dilupakan, maka kampung warna warni ini memiliki cara yang cukup unit dan berbeda menyambut pengunjungnya.
Sebuah gantungan kunci dengan ragam warna menjadi syarat mutlak untuk masuk ke kampung warna warni ini. Harganya pun sangat terhangkau, hanya Rp 3.500 saja per pcs nya.
Sebagai daerah penghasil apel, gantungan kunci untuk masuk kampung warna warni dibuat berbentuk buah apel. Hihiihi. Lucu ya!
Selain dapat dijadikan sebagai buah tangan, “tiket masuk” ini juga dapat menjadi wahana asah kreatifitas ibu-ibu setempat untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari destinasi wisata yang ada di wilayah mereka sehingga dapat lebih meningkatkan produktivitas kaum ibu di sana juga.
Mengenal Kampung Warna warni, Malang
![]() |
Spot pertama dengan background payung warna warni di kampung Tridi | Foto: Ana Butar butar |
Saat memasuki wilayah kampung warna warni ini, saya sempat berbincang sesaat dengan pemuda setempat. Menurut mereka, destinasi wisata yang instagamble ini terbentuk oleh karena faktor ketidaksengajaan.
Seorang warga yang memiliki kemampuan melukis 3D menghiasi tembok yang berada persis di pintu masuk kampung warna warni. Lukisan yang tampak ciamik tersebut kemudian disukai oleh banyak warga, sehingga disepakatilah untuk membuat lukisan-lukisan lain yang tak kalah indah.
Tidak ada yang menduga, sebuah produsen cat kemudian tertarik pula dengan jalanan yang dihiasi tersebut lalu menjadi sponsor untuk menyulap kampung warna warni menjadi kampung yang seperti sekarang. Dengan demikian, seluruh warga setempat diajak untuk aktifserta menyempurnakan dan berkontribusi akan keindahan serta tatanan jalannya daerah wisata di sana.
Sebagian menghiasi rumahnya sendiri dengan warna cat seseuai selera, eh tapi ada syaratnya juga lho. Jika satu rumah sudah memilih warna hijau dan gambar, misalnya, untuk menghiasi rumahnya, maka tetangga tidak diijinkan untuk menggunakan warna dan gambar yang sama. Ini juga memiliki pengaruh dengan keindahan yang tak putus, serta warna dan gambar yang lebih beragam.
Ketika kaum ibu sibuk dengan menghasilkan karya untuk para pelancong, maka pemuda laki-laki akan berkontribusi menjadi bagian keamanan dan parkir kendaraan pengunjung. Petugas parkir kendaraan inilah yang saya ajak untuk berbincang. Dan mereka sangat ramah untuk memberikan ragam informasinya yang saya butuhkan.
Beda informasi yang saya terima dari pemuda setempat, beda pula apa yang disampaikan oleh wikipedia nih. Berdasarkan Wikipedia, latar belakang terbentuknya Kampung warna warni Malang ini adalah kampung yang digagas delapan mahasiswa jurusan Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang diketuai Nabila Firdausiyah. Sekelompok mahasiswa ini menggandeng program corporate social responsibilities perusahaan cat untuk mewujudkan kampung tersebut. Mereka awalnya mendapatkan tugas praktikum Public Relations 2 dari dosen, lalu sekelompok ini yang tergabung dalam Guys Pro-lah yang memiliki ide brilian untuk menyulap kawasan kumuh ini menjadi penuh warna.
Tidak masalah yang mana sebetulnya yang benar. Yang terpenting adalah, tangan-tangan kreatif telah menghadirkan satu destinasi yang tak kalah apik dan disukai masyarakat senusantara. Heheh.
Oh ya, bicara tentang Kampung Warna warni Malang ini, sebelum berkunjung, masyarakat akan beranggapan sama. 1 kampung warna warni di Malang yang dapat dikunjungi. Ternyata setelah tiba di lokasi, ada 3 kampung yang berbeda dengan keindahan yang tak kalah menarik. Apa saja?
1. Kampung Tridi Malang
![]() |
Selamat datang di Kampung Tridi | Foto: Ana Butar butar |
Ini dia kampung yang menyediakan tiket masuk lucu dengan harga yang sangat terjangkau.
Selain banyaknya ornamen yang dibuat dengan warna warna berbeda, ada hal lain yang dapat dinikmati pengunjung di kampung Tridi ini. Sesuai namanya, di sini pengunjung akan berkesempatan untuk menikmati ragam lukisan 3D yang bisa dikreasikan untuk seseruan saat berfoto. Digigit harimau misalnya seperti foto aku di bawah ini.
![]() |
Kreasi foto di lukisan 3D kampung Tridi Malang | Foto: Ana Butar butar |
Agar foto lebih lebih bervariasi dan instagramble, kamu tak perlu sungkan dan malu malu untuk mengekspresikan diri. Selama kamu ngga ngeganggu orang lain, hajar sajaaa! Barangkali setelah ada seseorang yang berfoto unik di salah satu spot, pengunjung lain akan berani untuk melakukan hal yang sama.
Bagaimanapun, terkadang kreatifitas dalam diri seseorang dibiarkan saja terpendam hanya karena alasan malu. Padahal mah, malu karena apa ngga tau juga. Toh ngga ada yang kenal kan? Hehe.
Di kampung ini, tidak ada satu rumahpun yang terlewat tanpa berwarna dan bergambar. Menurutku, ini salah satu bentuk dukungan seluruh masyarakat setempat untuk menyulap kampung mereka menjadi destinasi wisata bersama. Tidak satu rumahpun baik itu rumah yang tampak sederhana, atau rumah yang sedikit lebih mewah.
Saat kita menyusuri kampung Tridi Malang ini, sejatinya sama seperti tengah lewat di perkampungan sebagaimana biasanya. Perumahan warga, aktifitas seperti ibu-ibu ngerumpi, pakaian yang terjemur di depan rumah, warung , semua terasa seperti kehidupan biasa. Bedanya ya itu, permainan warna, dan maraknya ornamen yang dibuat menghiasi sepanjang jalan berhasil membuat pengunjung gemes dan ingin berhenti terus menerus di titik titik yang menurut mereka menarik.
Kampung Tridi Malang tak begitu luas. Kurang lebih 40 menit berjalan sudah dengan jepret sana sini perjalanan sudah selesai. Tapi eh, tergantung masing-masing pengunjung lho ya. Kalau semua spot dianggap menarik, bisa saja sampai satu jam atau lebih di kampung Tridi Malang ini.
Usai mengitari Kampung Tridi Malang, perjalanan akan terhenti di sebuah jembatan kaca yang menghubungkan kampung Tridi dengan kampung warna warni lainnya. Yes! Betul banget. Kampung warna warni Jodipan.
![]() |
Siap menapaki tangga jembatan kaca | Foto: Ana Butar butar |
Jembatan kaca ini tidak begitu panjang, dan sebetulnya diberi warning hanya berkapasitas maksimal 50 orang. Tepat di bawahnya adalah sungai. Namun, persis dari atas jembatan ini pulalah, pengunjung dapat menikmati indahnya perpadua warna dari dua perkampungan di Malang.
![]() |
Ini dia pemandangan dari atas jembatan kaca | Foto: Ana Butar butar |
2. Kampung Warna warni Jodipan Malang
Usai melalui jembatan kaca, kami masuk ke kampung warna warni Jodipan.
Beda kampung, beda aturan. Hehe. Di sini, tiketnya masih berupa kertas. Jika di kampung Tridi lebih didominiasi dengan permainan warna warni dan gambar pada rumah, serta ornamen di sepanjang jalan, maka kampung Warna warni Jodipan memberikan sentuhan yang lebih nasionalis, yakni Batik dan beberapa ornamen wayang, topeng, topi petani, dan tangga yang tak luput dari warna warna cantik untuk dilalui pengunjung sebelum akhirnya keluar meninggalkan area kampung warna warni. Karena memang luasnya yang masih kalah dibandingkan kampung Tridi, maka di sini pengunjung tak perlu membutuhkan banyak waktu untuk sekedar menikmati hiasan yang disajikan.
![]() |
Sajian batik dan wayang di salah satu spot kampung Jodipan | Foto: Ana Butar butar |
Eh, kalau haus dan lapar di sepanjang perjalanan, gimana?Persis seperti yang aku sampaikan di atas, di kampung ini masyarakat masih beraktifitas sebagaimana masyarakat pada umumnya, termasuk berjualan makanan dan membuka warung.
![]() |
Semacam lapangan untuk berfoto dan melepas lelah serta rasa lapar | Foto: Ana Butar butar |
Jadi ketika pengunjung lapar dan haus, bisa mampir di salah satu warung untuk sekedar mengisi perut sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Oh ya, persis saat kita memasuki kampung Jodipan, di sana pun ada semacam lapangan yang memang menyajikan berbagai makanan yang diperjualbelikan pada pengunjung.
Selain itu kampung warna warni Jodipan juga menyuguhkan semacam perpusatakan mini gitu, dan ada cerminnya untuk ngaca, kayak gini
![]() |
Bercermin bersama fotographer di balik foto-foto ciamikku | Foto: Ana Butar butar |
3. Kampung Arema
Keluar dari kampung warna warni Jodipan, lalu berjalan kembali ke arah stasiun Kota Baru Malang, maka pengunjung akan melewati satu perkampungan yang seluruhnya memiliki warna yang senada, yakni biru.
![]() |
Kampung Arema Malang | Foto: Ana Butar butar |
Kampung tersebut adalah Kampung Arema. Sayang, saat kami di saja, menurut warga setempat, kampung Arema belum siap untuk dikunjungi karena masih dalam tahap renovasi. Hiks hiks.
Itu dia sepenggal perjalananku saat ke Malang. Nantikan kisah si perempuan kampung ini di perjalanan berikutnya yaa. Dan jangan lupa untuk selalu jelajah nusantara. Eh, btw dapat salam dari kampung warna warni Malang. Katanya, dia cinta.
Seru banget nih fa di kampung warna, dan tampak banget dikau masih agak muda an, hihi
ReplyDeleteIya Mba. Sekarang udah tua. Makasih lho Mba Fenni ku sayang
Delete